Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sikap Asertif China di Natuna Tak Sejalan dengan Komitmen Kemitraan Strategis

Kompas.com - 28/03/2016, 11:00 WIB

BEIJING, KOMPAS.com - Dinamika konflik Laut China Selatan yang melibatkan beberapa negara, seperti China, Filipina, Taiwan, Vietnam, Malaysia, dan Brunei, telah membawa implikasi terhadap stabilitas kawasan.

Bahkan perkembangan konflik Laut China Selatan kini semakin meluas dan berimplikasi pada permasalahan yang dianggap lebih krusial menyangkut ancaman terhadap kedaulatan teritorial Indonesia.

Apalagi, China tetap berpendirian tentang klaimnya terkait “Nine das line”. Bahkan China telah memasukkannya ke dalam peta negara itu pada paspor warga negaranya. “Nine-dash line” adalah sembilan titik imaginer yang menunjukkan klaim China atas sebagian besar wilayah di Laut China Selatan.

Indonesia tidak bisa mengabaikan hal tersebut hanya karena Indonesia dan China tidak memiliki sengketa teritori di Laut China Selatan. Potensi ancaman tetaplah ancaman, yang harus diwaspadai dan diantisipasi.

Terlebih China tidak pernah berhenti melakukan manuver di Laut China Selatan, termasuk pula di sekitar wilayah perairan Natuna, yang diklaimnya hal itu dilakukan di wilayah kedaulatannya. Aktivitas itu sah menurut Beijing dan tidak melanggar hukum laut internasional.

Tidak hanya membangun pulau-pulau karang, yang ditengarai sebagai pangkalan militernya di sekitar Laut China Selatan. China bahkan juga telah membangun sistem pertahanan udara dan maritim di sekitar wilayah perairan tersebut secara bertahap sejak setahun silam.

Peristiwa penghadangan kapal patroli Indonesia oleh kapal patroli China di Perairan Natuna, sepekan silam juga bukanlah yang kali pertama terjadi.

Indonesia tidak dapat mengabaikan peristiwa tersebut hanya dengan sekadar menganggapnya sebagai keisengan atau kesalahpahaman petugas di lapangan.

Indonesia tidak dapat hanya berpegang pada notifikasi kepada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada 20 Maret 2010, yang menyatakan Indonesia tidak mengakui “nine dash line”.

Komitmen Indonesia untuk menegaskan kedaulatannya di Natuna, perlu terus ditegaskan dan dibuktikan nyata.

Ada tiga alasan utama mengapa potensi konflik di Laut China Selatan akan terus ada.

Pertama, wilayah laut dan gugusan kepulauan di Laut China Selatan mengandung sumber kekayaan alam yang sangat besar, meliputi kandungan minyak dan gas bumi serta kekayaan laut lainnya.

Kedua, wilayah perairan Laut China Selatan merupakan wilayah perairan yang menjadi jalur perlintasan aktivitas pelayaran kapal-kapal internasional. Terutama jalur perdagangan lintas laut yang menghubungkan jalur perdagangan Eropa, Amerika, dan Asia.

Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di Asia, membuat negara-negara seperti Tiongkok dan negara-negara di kawasan Laut China Selatan, bahkan termasuk Amerika Serikat sangat berkeinginan menguasai kendali dan pengaruh atas wilayah Laut Cina Selatan. Perairan itu dinilai sangat strategis dan membawa manfaat ekonomis yang sangat besar bagi suatu negara.

Bagi China, tindakannya di Laut China Selatan akan menegaskan persepsi umum akan intensinya sebagai kekuatan yang sedang tumbuh.

Kebijakan non-perang yang diadopsi Beijing akan membuat negara-negara tetangganya merasa yakin bahwa Beijing menginginkan perkembangan yang damai.

China yang terlalu asertif mengubah status quo lewat parade kekuatan militernya akan memberi dampak sebaliknya.

Negara-negara Asia Tenggara tidak akan menyambut baik munculnya lingkup kekuasaan di kawasan berdasarkan kebangkitan militer dan aspirasi kepemimpinan satu negara.

Mitra strategis komprehensif

Indonesia-China sepakat menandatangani kesepakatan Kemitraan Strategis pada 25 April 2005, yang kemudian ditingkatkan menjadi Kemitraan Strategis Komprehensif pada Oktober 2013.

Reuters Seorang anak laki-laki tampang memancing di antara batu karang Kepulauan Natuna Besar (foto: dok). China kini mengklaim Kepulauan Natuna, milik Indonesia, sebagai bagian dari wilayahnya.
Sejak itu hubungan politik, pertahanan, keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya kedua negara terus meningkat.

Makin eratnya hubungan Indonesia-China juga ditunjukkan kedua pihak pada forum internasional, semisal dalam penetapan Declaration of Conduct of Parties in The South China Sea (DoC) pada 2002, termasuk dalam "Guidelines for The Implementation of DoC" pada 2011.

Namun, sikap perilaku asertif China di Laut China Selatan termasuk beberapa kali di perairan Natuna, terkesan tak sejalan dengan komitmennya sebagai mitra strategis komprehensif bagi Indonesia.


Bahkan protes keras Indonesia yang disampaikan resmi Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi pun bagai angin lalu bagi Beijing.

Adakah makna mitra strategis komprehensif antara Indonesia dan China, yang dilandasi saling menghormati dan menghargai sebagai dua bangsa yang setara serta bermartabat?

Terkait itu, Indonesia sebagai negara yang dianggap berpengaruh di Asia Tenggara sekaligus mitra strategis komprehensif China, seharusnya mampu memposisikan dirinya secara lebih proposional dan cerdas.

Terlebih China akan semakin asertif dengan berencana membentuk lembaga peradilan internasional khusus menangani sengketa maritim, menyaingi keberadaan arbitrase internasional milik PBB, termasuk mengantisipasi jika Filipina menang atas klaimnya di sebagian di Laut China Selatan.

Karena itu, selain meningkatkan kemampuan diplomasinya, Indonesia juga seharusnya mampu merumuskan kebijakan luar negerinya secara cerdas. Termasuk di dalamnya adalah untuk menghadapi sikap asertif China, tidak saja di Laut China Selatan secara umum, namun juga di sekitar perairan Natuna, khususnya.

Semisal, dari sisi politik kepercayaan strategis yang diberikan China kepada Indonesia sebagai negara yang berpengaruh di Asia Tenggara, hendaknya dapat dimanfaatkan maksimal sebagai posisi tawar Indonesia dalam pembahasan dengan China terkait “nine dash line”.

Sebagai mitra strategis komprehensif China, Indonesia memiliki kekuatan yang sama dengan China dalam menghadapi situasi di Laut China Selatan.

Sebagai mitra strategis komprehensif, Indonesia hendaknya mampu memainkan peran diplomasi yang lebih elegan (quite diplomacy), sebagai bangsa yang sejajar dengan China, selain melancarkan megaphone diplomacy  (diplomasi untuk memaksa pihak lain sejalan dengan posisi yang diinginkan.

Peningkatan pertahanan

Peningkatan anggaran pertahanan merupakan salah satu langkah konkrit yang dapat ditempuh Pemerintah Indonesia dalam upaya memperkuat kekuatan militer Indonesia. Hal itu demi mewujudkan daya tangkal (deterrence) dan meningkatkan posisi tawar yang tinggi dalam percaturan politik regional maupun global dalam rangka balancing power (kekuatan penyeimbang), termasuk menyikapi situasi di Laut China Selatan.

Membangun TNI tidak hanya ditujukan guna memperkuat sistem pertahanan negara semata, tetapi juga memperkuat posisi tawar dalam berdiplomasi.

Hampir tidak ada satu negarapun dalam melakukan diplomasi dengan negara lain menegasikan kekuatan militer.

Militer yang kuat akan memberikan posisi tawar yang tinggi dalam berdiplomasi. Itulah yang dilakukan China.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber ANTARA
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com