Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Ano Hito Wa Mo Inai

Kompas.com - 11/03/2016, 14:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Judul tulisan ini adalah penggalan syair lagu “Aobajo Koiuta” yang dinyanyikan oleh Muneyuki Sato. Lagu ini adalah lagilu cinta, dengan latar belakang lansekap kota Sendai, kota yang oleh orang Jepang disebut Mori no Miyako.

Banyak tempat-tempat yang menjadi simbol kota Sendai disebut dalam lagu ini. Judulnya memuat kata Aobajo, sebuah puri Samurai yang didirikan oleh Masamune Date, pendiri kota itu.

Lalu ada Hirosegawa, nama sungai yang membelah kota. Kemudian ada Tanabata Matsuri, festival musim panas yang terkenal di kota Sendai.

Lagu ini adalah lagu sedih, bercerita tentang kisah cinta yang sudah berlalu. Di akhir suatu bait berulang kalimat, “Ano hito wa mo inai”, dia sudah tiada. Lagu ini terasa makin menyayat ketika saya mengenang peristiwa gempa 11 Maret 2011.

Hari itu saya sedang bekerja di kantor saya di Karawang. Teman saya saya yang masih kuliah di Tohoku University mengirim pesan lewat mailing list, bahwa baru terjadi gempa.

Waktu itu sempat saya balas dengan bercanda. Bagi orang yang pernah tinggal di Jepang, gempa itu adalah hal yang biasa. Kemudian saya lanjutkan bekerja.

Tak lama kemudian saya diberi tahu oleh rekan kerja saya, orang Jepang, bahwa telah terjadi tsunami di Sendai dan daerah pesisir prefecture Miyagi. Wilayah Tohoku dihantam bencana besar, orang Jepang menyebutnya Tohoku daishinsai.

Lalu saya melihat gambar video saat tsunami menghantam bandara Sendai. Pilu rasanya melihat bandara yang dulu sering saya gunakan, hanyut terendam air bah.

Segera saya telepon Sensei, pembimbing saya waktu kuliah dulu, tapi tak tersambung. Beberapa kawan Jepang saya juga tak bisa saya hubungi. Kawan-kawan mahasiswa Indonesia di sana pun tak ada yang bisa dihubungi. Beberapa ka berlalu, terasa hening. Bagaimana nasib kawan-kawan di sana? Entahlah.

Siang menjelang sore baru ada kabar. Sebagian besar mahasiswa Indonesia di Sendai selamat, tak ada yang cidera, meski masih ada satu dua yang belum bisa dipastikan keberadaannya.

Belakangan diketahui mereka sedang pulang ke Indonesia, dan ada juga yang sedang bepergian.

Pihak KBRI Tokyo kemudian melakukan evakuasi, kemudian mengirim pulang para mahasiswa kita itu ke Jakarta. Kelak benerapa di antaranya kesulitan saat hendak kembali ke Jepang, karena tidak mengurus re-entry permit.

Sementara itu saya tetap tidak bisa menghubungi Sensei dan teman-teman Jepang saya. Kabar dari kawan-kawan yang pulang adalah bahwa kota Sendai tidak mengalami kerusakan yang parah.

Gempa memang mengguncang. Tapi sepertinya Jepang sudah siap, belajar dari gempa Kobe tahun 1995 yang menghancurkan kota itu, banyak bangunan di Sendai yang diperbaiki standarnya sehingga lebih tahan gempa.

Yang tidak bisa diantisipasi adalah tsunami. Akibat gempa dan tsunami, banyak pembangkit listrik dan saluran distribusi gas yang rusak. Kota tidak mengalami kerusakan berat, tapi pasokan energi terputus.

Demikian pula pasokan barang kebutuhan. Orang harus antri di supermarket untuk membeli barang kebutuhan.

Kota-kota pesisir seperti Natori, Tagajo, dan Kesennuma luluh lantak diterjang tsunami. Kota-kota itu. Mendengar namanya saat itu langsung membuat air mata saya tumpah ruah.

Bandara Sendai itu terletak di Natori. Ia luluh lantak. Di bandara itulah saya menyambut kedatangan istri saya pada kunjungannya yang pertama ke Sendai. Kami menikah beberapa hari sebelum saya berangkat untuk kuliah. Istri saya menyusul 3 bulan kemudian.

Di bandara itulah dia mendarat, dan saya menjemputnya. Tempat kenangan itu musnah tersapu ombak.

Ada beberapa teman saya di Natori, hingga saat ini belum bisa saya ketahui keberadaannya. Kami juga pernah diundang oleh Walikota Tagajo bersama komunitas pelajar asing di Sendai. Banyak orang yang kami temui di sana, walau tidak berteman akrab.

Kesennuma, kami pernah berlibur ke sana. Kota pelabuhan nelayan yang cantik. Banyak orang Indonesia yang bekerja di sana, sebagai awak kapal nelayan. Bagaimana nasib mereka?

Jepang berduka saat itu. Saya juga berduka. Dua minggu baru saya bisa mengontak kawan-kawan. Tak ada dari mereka yang jadi korban. Semua baik-baik saja.

Tapi saya tetap merasakan duka, karena ada banyak orang yang dulu hanya saya kenal sekilas, tak bisa saya ketahui keadaannya. Mungkin ada di antara mereka yang sudah tiada. Ano hito wa mo inai.

Tapi di tengah duka itu, orang-orang Jepang menunjukkan ketabahannya. Mereka segera bangkit. Tindakan darurat segera diambil. Pembangunan kembali segera dimulai. Mereka tak berlama-lama meratap, segera bangkit dengan teriakan,”Ganbare, Tohoku!” Berjuanglah Tohoku!

Yang mengguncang dunia adalah foto-foto korban yang tetap tertib antri mengambil makanan, meski mereka dalam keadaan kesusahan.

Dua tahun lalu saya berkunjung ke Sendai. Semua sudah pulih seperti sedia kala.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com