Pernyataan itu disampaikan pengamat internasionaldi di tengah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa OKI, Senin (7/3) di Jakarta. KTT OKI ke-5 ini, terfokus pada upaya penyelesaian konflik Palestina dan Al-Quds Al-Sharif.
“Jika OKI dinilai lemah dalam menyelesaikan masalah Timur Tengah, seperti konflik Palestina, krisis Suriah, dan Yaman, memang benar. OKI belum mempunyai peran besar dan tak bertaring,” kata profesor pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, Senin pagi.
Hal yang sama disampaikan pemerhati Timur Tengah, Zuhariri Misrawi. “OKI antara ada dan tidak ada karena selama ini tidak mempunyai angenda bersama yang mengikat setiap anggotanya,” kata Zuhairi.
Menurut Hikmahanto, ada setidaknya empat hal yang membuat OKI tidak memiliki daya yang kuat dalam mendorong perdamaian internasiona, khususnya konflik panjang Palestina-Israel. Juga dalam menyelesaikan perang saudara yang telah berjalan di Suriah, serta Irak dan Yaman.
“Antara Anggota tidak terjaga kekompakan, yang terjadi justru pertarungan (kepentingan) satu sama lain,” katanya.
Masalah kedua, “Wadah ke-Islam-an ternyata tidak mampu membuat dan menjaga soliditas, terutama bila hal itu berbenturan dengan kepentingan, mazab, dan afiliasi negara besar,” tambah Hikmahanto.
Selain itu, secara geografis negara-negara yang bergabung dalam OKI terpencar. Mereka sulit melakukan shuttle diplomacy. “Peran Sekretaris Jenderal (Sekjen) kurang maksimal dalam menggerakkan organisasi,” katanya.
Harus kuat dan solid
Hikmahanto menyarankan, OKI hari memperkuat fungsi kesekretariatan (Sekjen) dan mencari Sekjen yang terbiasa melakukan shuttle diplomacy. Kekuatan dan kesolidan organisasi internasional terletak pada kesekretariatan.
“Justru yang harus dilakukan adalah identifikasi permasalahan bersama. Permasalahan inilah yang membuat OKI menjadi solid,” katanya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.