Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Salah Kaprah soal Pengadilan Rakyat 1965 di Belanda

Kompas.com - 12/11/2015, 11:29 WIB
DEN HAAG, KOMPAS.com — Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) mengenai peristiwa tahun 1965 telah dimulai pada Selasa (10/11/2015) di Den Haag, Belanda. Namun, banyak orang yang bingung dan belum mengerti tentang apa dan mengapa pengadilan ini digelar.

Segera setelah pemberitaan terkait IPT muncul di media massa, sejumlah pengguna media sosial mengungkap kemarahan dan bertanya-tanya: mengapa Belanda menggelar pengadilan soal 1965?

"Harusnya Belanda yang lebih bertanggung jawab terhadap jutaan bangsa Indonesia yang dibunuh," kata satu pengguna Facebook.

Menko Polhukam juga menyiratkan kemarahan yang sama.

"Untuk siapa kau minta maaf? Keluarga korban mana? Pembantaian mana? Sekarang saya tanya Westerling kalau mau, buka-bukaan dong, berapa banyak orang Indonesia dibunuh? Jadi jangan suara bule aja yang kalian dengerin, suara Indonesia juga didengerin," kata Menko Polhukam Indonesia Luhut Binsar Pandjaitan seperti dikutip berbagai media.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, kepada wartawan, juga mengatakan bahwa pengadilan di Belanda tidak usah ditanggapi karena Belanda juga banyak melakukan pelanggaran HAM.

Pernyataan-pernyataan itu sebetulnya tidak mencerminkan peristiwa IPT 1965.

Berikut adalah sejumlah fakta tentang IPT yang bisa membantu Anda memahami konteks peristiwa di Den Haag.

1. Bukan diprakarsai oleh Belanda dan bukan "suara bule"

Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) tidak ada hubungannya dengan Pemerintah Belanda. Orang-orang yang menginisiasi juga bukanlah orang asing, melainkan aktivis HAM dan sejumlah warga Indonesia yang tinggal di Belanda.

IPT 1965 dikoordinasikan oleh aktivis dan praktisi hukum Nursyahbani Katjasungkana. Sementara Todung Mulya Lubis, pengacara yang dikenal sebagai pejuang hak asasi manusia (HAM), menjadi jaksa ketua.

Tetapi, format sidang dibuat sama seperti pengadilan HAM formal dengan pembentukan tim peneliti yang menghimpun data dan kesaksian, serta penyusunan panel hakim internasional.

Nantinya, ada tujuh hakim yang akan memutuskan perkara, yaitu Sir Geoffrey Nice, Helen Jarvis, Mireille Fanon Mendes France, John Gittings, Shadi Sadr, Cees Flinterman, dan Zak Yacoob.

2. Pengadilan tidak memiliki kekuatan hukum

Karena diprakarsai dan dibentuk murni oleh warga sipil biasa, IPT berada di luar negara dan lembaga formal seperti PBB. Itu artinya, keputusan apa pun yang dihasilkan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com