Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bom Atom Hiroshima: Antara Kejahatan Perang dan Pesan untuk Soviet

Kompas.com - 05/08/2015, 20:29 WIB

HIROSHIMA, KOMPAS.com — Dunia berubah selamanya ketika pesawat pengebom AS menjatuhkan bom atom pertama di kota Hiroshima, Jepang, 70 tahun yang lalu. Bagi warga Jepang dan para sejarawan, ledakan bom atom pertama ini memiliki makna yang berbeda.

Amerika Serikat mengatakan, mereka mengambil langkah drastis untuk mengakhiri lebih awal Perang Dunia II dan menyelamatkan nyawa ratusan ribu tentara AS, tetapi pernyataan resmi ini sekarang dibalikkan.

Pada 6 Agustus 1945, bom atom pertama di dunia meledak di atas Hiroshima, memusnahkan pusat kota, dan menewaskan sekitar 140.000 orang, sebagian besar warga sipil, pada akhir tahun itu.

Beberapa orang warga Hiroshima yang selamat dari peristiwa mengerikan itu masih melihat jelas saat-saat bom itu menghancurkan kota. Salah seorang yang selamat dari tragedi tersebut adalah Keiko Ogura.

Keiko Ogura berusia delapan tahun saat itu, dan hanya berada 2,4 kilometer dari lokasi jatuhnya bom atom. Keiko masih jelas mengingat ketika dirinya dikepung api beberapa saat setelah ledakan terjadi.

"Sebuah kilatan cahaya dan ledakan membanting saya ke tanah dan saya kehilangan kesadaran. (Ketika) Saya bangun, saat itu gelap dan semua orang menangis," kenangnya.

Keiko mengatakan, bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki yang dijatuhkan tiga hari kemudian, yang menewaskan lebih dari 70.000 orang, adalah sebuah kejahatan perang.

Pesan untuk Soviet

Banyak sejarawan mengatakan, pengeboman itu tak menyebabkan Jepang serta-merta menyerah. Deklarasi perang Uni Soviet atas Jepang dua hari setelah bom itu dijatuhkan sempat menjadi kejutan besar.

Deklarasi perang itu mengakhiri harapan bahwa Uni Soviet akan menegosiasikan penyerahan diri yang menguntungkan bagi Jepang. Tentara Kekaisaran Jepang yang melemah tak memiliki kapasitas untuk melawan tentara Uni Soviet pada pertempuran kedua di China dan Jepang Utara.

Sejarawan Jepang, Yuki Tanaka, mengatakan, negara itu tak punya pilihan karena Soviet akan membunuh Kaisar Hirohito, yang dipandang sebagai jantung dan jiwa dari Kekaisaran Jepang.

"Uni Soviet akan menghancurkan sistem kaisar dan mereka akan mengeksekusi kaisar serta seluruh anggota keluarga kerajaan," jelasnya.

Sementara itu, Amerika Serikat percaya bahwa keterkejutan dan kekaguman atas kekuatan dahsyat bom itu memaksa Jepang menyerah. Tetapi, para ahli sejarah mengatakan, di dalam Jepang sendiri, hal itu dipandang berbeda.

Sepanjang perang, Amerika telah menghancurkan 66 kota di Jepang dengan aksi pengeboman besar-besaran. Dalam hanya satu malam, 100.000 warga sipil tewas di Tokyo.

Direktur Studi Asia di Universitas Temple University, Tokyo, Jeffery Kingston, mengatakan, bom itu tak memiliki dampak seperti yang diharapkan Amerika.

"Jika Anda melihatnya dari perspektif militer Jepang, tak ada perbedaan besar apakah orang mati dari bom biasa atau bom atom ... itu hanya dipandang sebagai kehancuran dua pusat kota,” utaranya.

Bom atom mungkin berperan dalam mencegah invasi darat yang berdarah dan membuat ribuan warga Amerika tetap hidup, tetapi sejarawan seperti Dr Jeffery mengatakan, bom itu juga bermakna sebagai pesan untuk Uni Soviet.

"Kami memiliki senjata baru yang luar biasa ini, kami memiliki monopoli atasnya dan kami akan muncul sebagai negara adidaya terkuat. Artinya, itu adalah salvo pembukaan Perang Dingin," sebutnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com