Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Temanku, Teroris?" dari Indonesia Lewat Australia ke Frankfurt Book Fair

Kompas.com - 08/07/2015, 07:56 WIB

Mahasiswi beramput pirang ini belajar bahasa Indonesia sejak berusia 12 tahun di sekolahnya.

Ia merasa bahasa Indonesia itu relatif mudah di pelajari. Ia pun sadar bahwa Indonesia adalah tetangga terdekat Australia namun masih belum banyak karya-karya penulis Indonesia diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Maka ia meneruskan kuliah Bahasa Indonesia di Monash University.

Kemudian Courtney mendalami bahasa Indonesia lagi di UGM dan tinggal beberapa saat di Bekasi.

Meskipun sudah belajar dan tinggal di Indonesia, Courtney harus berjuang mencari padanan kata bahasa Indonesia yang saya pakai dalam buku ini ke dalam bahasa Inggris.

Misalnya suatu hari kita berdiskusi apa sih terjemahan kata yang tepat untuk kata: ‘jimat’, ‘kecengan’, ‘kacung kampret’, ‘cungkring’ dan lain-lain. Meskipun susah, ia terus bersemangat. “

Ini kerja penting karena hanya dengan terjemahanlah, terutama dengan bahasa Inggris, karya-karya penulis di Indonesia bisa dikenal di dunia internasional. Terjemahan adalah jembatan untuk saling memahami dua budaya yang berbeda. Kita bertetangga itu kan tidak bisa memilih.

"Tapi kita bisa memilih menjadi tetangga yang baik dengan saling memahami budaya yang berbeda lewat karya-karya literasi ini” paparnya.

Selama bekerja dengan Courtney dalam waktu yang sangat mepet ini, saya tersengat dengan realita menyedihkan bahwa bangsa kita yang berpenduduk 250 jutaan jiwa ini masihlah sangat miskin penulis jika dibandingkan dengan negara tetangga kita seperti Singapura, Filipina atau Australia.

Jika ada buku yang terbit dari para penulis itupun masih “jago kandang” karena masih berbahasa Indonesia.

Buku saya ini beruntung terpilih dalam FBF sehingga negara kita mengeluarkan dana untuk proses terjemahannya.

Oleh karena itu, saya berharap penerjemahan literasi penulis Indonesia ke dalam bahasa Inggris dan karya penulis Australia dalam bahasa Indonesia itu perlu digalakkan lagi. Ini penting untuk bisa dijadikan sebagai media diplomasi alternatif hubungan people to people antar dua negara yang sering naik turun ini.

Apalagi jika kita melihat langgam pemerintahan Jokowi yang sangatlah jauh berbeda dengan SBY yang faham betul dengan konstalalasi diplomasi global.

Popularitas Jokowi meroket itu juga bukan karena sosok dia yang cerdas dan canggih seperti SBY. Jokowi sukses menyihir massa karena kemampuannya dalam membangun hubungan people to people.

Bisa jadi, pemerintahan Jokowi juga akan menggandalkan pola hubungan informal sebagai ukuran keberhasilan diplomasi kedua negara ini.  Tak ayal lagi, para diplomat kita harus terus mencari cara jitu membangun diplomasi yang berpola people to people ini.

FBF ini bisa juga dijadikan sebagai momentum untuk membangun kesadaran baru bagi para pekerja kreatif, termasuk di dalamnya adalah para kaum akademis untuk keluar dari dunia nyaman kampus yang elitis dan bahkan sering kali menjadi mesin birokrasi yang malah mematikan api kreatifitas menulis buku yang berfungsi sebagai jendela dunia itu.

* Noor Huda Ismail adalah penerima beasiswa Australian Award 2014 untuk menyelesaikan PhD Politik dan Hubungan Internasional di Monash University. Dia dapat dihubungi di noorhuda2911@gmail.com.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com