KOMPAS.com - Saya baru punya satu karya buku, Temanku, Teroris?. Buku ini diterbitkan Mizan tahun 2010.
Waktu itu, penerbit meminta saya untuk menuliskan memoir pribadi saya. Bagi mereka, pengalaman saya tinggal satu kamar dengan Fadlullah Hasan, salah satu pelaku bom Bali tahun 2002 ketika nyantri di pondok pesantren Al Mukmin Ngruki itu menarik.
Buku itu saya tulis untuk menjelaskan bagaimana saya dan Hasan yang ‘satu guru dan satu ilmu’ tapi kok kemudian memilih jalan yang berbeda. Saya menjadi special correspondent untuk koran Amerika, The Washington Post, yang meliput peledakan bom dahsyat di Bali yang menewaskan tidak kurang 202 korban di antaranya 88 orang Australia. Sedangkan Hasan justru terlibat di dalamnya.
Dengan gaya penulisan laporan investigatif jurnalistik yang saya tulis seperti karya fiksi, membuat para pembaca sering menyebut buku saya itu sebuah novel.
Padahal buku saya berisi semua kisah nyata hasil wawancara dengan para pelaku, korban, teman-teman saya ketika di pesantren dan bahkan dengan anak perempuan ustad pondok yang sempat saya ‘pacari’ waktu itu.
Ketika draf awal sudah selesai, saya minta para narasumber membaca ulang tulisan saya dan meminta mereka mengoreksinya jika ada yang kurang pas.
Bedah buku dilakukan di dalam penjara dengan para terpidana teroris. Sehingga buku ini pun menimbulkan dampak pro dan kontra di kalangan publik.
Yang pro mengatakan bahwa buku saya itu mengajak pembaca memasuki dunia terorisme dengan tanpa menghakimi. Sedangkan yang kontra menuduh saya menjadi juru bicara para teroris itu.
Singkatnya, buku itu lebih sebagai buku ‘aktifis’ dan bukan karya sastra.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.