Surat yang diedarkan bulan Mei itu mengatakan, petugas kesehatan harus melakukan tes yang mencakup dimasukkannya dua jari ke vagina pasien untuk memeriksa luka akibat pemerkosaan.
Cara itu sudah dilarang Mahkamah Agung India tahun 2013 dengan alasan melanggar hak pribadi seorang perempuan.
Namun para pegiat mengatakan pengacara dari tersangka pelaku pemerkosaan sering menggunakan tes ini untuk mengajukan pembelaan bahwa tersangka dan korban melakukan hubungan seksual dan bukan diperkosa.
Pemerintah menegaskan bahwa saran mereka kepada para dokter telah disalahtafsirkan dan kini menegaskan tes seharusnya tidak dilakukan kepada para korban kekerasan seksual.
India memperketat undang-undang kekerasan seksual setelah serangkaian pemerkosaan, khususnya pemerkosaan berkelompok atas seorang mahasiswi pada akhir 2012 lalu, yang menyebabkan korban meninggal dunia.
Aksi pemerkosaan atas mahasiswi itu memicu kemarahan yang meluas dan mendesak pemerintah untuk bertindak lebih banyak untuk melindungi kaum perempuan.
Bagaimanapun di kalangan masyarakat India, masih ada kecenderungan untuk menuding korban pemerkosaan sebagai pihak yang bersalah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.