Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 09/04/2015, 08:15 WIB
SANLIURFA, KOMPAS.com — Saat Abu Hamza, mantan pemberontak Suriah, setuju bergabung dengan Negara Islam atau ISIS, ia berasumsi dirinya bakal menjadi bagian dari utopia Islam yang dijanjikan kelompok itu. Utopia tersebut telah memikat para petempur asing dari seluruh dunia untuk bergabung dengan ISIS.

Namun, apa yang terjadi, ia justru menemukan dirinya diawasi seorang amir Irak dan menerima sejumlah perintah dari beberapa orang Irak yang tidak jelas identitasnya. Orang-orang itu masuk dan keluar dari medan perang di Suriah. Ketika tidak sepakat dengan sesama para komandan dalam sebuah pertemuan ISIS tahun lalu, dia langsung ditahan atas perintah seorang pria Irak bertopeng yang hanya duduk diam selama pertemuan itu. Pria bertopeng tersebut hanya mendengar dan membuat catatan.

Abu Hamza, yang saat itu menjadi penguasa ISIS di sebuah komunitas kecil di Suriah, tidak pernah mengetahui identitas sesungguhnya dari orang-orang Irak itu, yang terselubung dengan nama sandi atau karena memang namanya tidak diungkapkan. Namun, semua laki-laki itu merupakan mantan perwira Irak yang pernah bertugas di masa Saddam Hussein, termasuk pria bertopeng itu. Ia pernah bekerja untuk agen intelijen Irak dan kini bekerja untuk badan keamanan bayangan ISIS, kata Hamza, seperti dilaporkan Washington Post, Sabtu (4/4/2015) lalu.

Laporan Hamza, dan orang-orang lain yang tinggal bersama atau berperang melawan ISIS selama dua tahun terakhir, menegaskan peran luas yang dimainkan para mantan anggota tentara Baath Irak dalam sebuah organisasi yang secara tipikal lebih dikaitkan dengan para militan asing flamboyan dan berbagai video mengerikan yang mereka bintangi.

Menurut sejumlah warga Irak, Suriah, dan para analis yang mempelajari ISIS, walau ada ribuan petempur asing yang bergabung, tetap saja hampir semua pemimpin ISIS merupakan mantan perwira Irak, termasuk para anggota komite militer dan keamanannya yang identitasnya tidak jelas tadi, serta sebagian besar para amir dan pangeran.

Washington Post melaporkan, para mantan perwira itu membawa keahlian militer dan sejumlah agenda dari mantan orang-orang Partai Baath ke ISIS. Mereka juga membawa jaringan penyelundupan yang dulu dikembangkan untuk menghindari sanksi pada tahun 1990-an dan yang kini memfasilitasi perdagangan minyak ilegal ISIS.

Di Suriah, para "amir" lokal biasanya dibayangi seorang wakil yang merupakan orang Irak dan membuat keputusan, kata Abu Hamza, yang telah melarikan diri ke Turki pada musim panas lalu setelah kecewa dengan ISIS. Dia menggunakan nama samaran demi keselamatannya.

"Semua pembuat keputusan orang Irak dan sebagian besar dari mereka merupakan mantan perwira Irak. Para perwira Irak menjadi pemimpin dan mereka yang membuat taktik dan rencana pertempuran," katanya seperti dikutip Post. "Namun, orang-orang Irak sendiri tidak bertempur. Mereka menempatkan para petempur asing di garis depan."

Profil umum para jihadis asing sering kali kurang paham dengan akar ISIS dalam sejarah berdarah Irak saat ini.

Hassan Hassan, seorang analis yang berbasis di Dubai dan salah seorang penulis buku berjudul ISIS: Inside the Army of Terror, mengatakan, kekejaman keji rezim Baath Saddam Hussein, pembubaran tentara Irak setelah invasi pimpinan AS tahun 2003, pemberontakan yang terjadi setelah itu, dan marginalisasi kaum Sunni Irak oleh pemerintah yang didominasi Syiah, semuanya saling terkait dengan munculnya ISIS.

"Banyak orang berpikir Negara Islam itu sebagai kelompok teroris dan itu tidak efektif," kata Hassan. "(ISIS) itu memang sebuah kelompok teroris, tetapi kelompok itu lebih dari itu. Kelompok (itu) merupakan pemberontakan yang tumbuh di Irak dan kelompok itu terkait dengan Irak."

Undang-undang penyingkiran orang-orang Baath (de-Baathification) yang diumumkan L Paul Bremer, penguasa Amerika di Irak tahun 2003, sudah lama diidentifikasi sebagai salah satu pemicu munculnya pemberontakan. Dalam sebuah keputusan, sebanyak 400.000 anggota tentara Irak yang telah dikalahkan kemudian dipecat. Tunjangan pensiunnya tidak dibayarkan. Namun, mereka tetap diizinkan untuk memiliki senjata.

Militer AS pada tahun-tahun awal gagal untuk menyadari para perwira Baath yang dibubarkan akhirnya berperan di sejumlah kelompok ekstremis, melebihi para petempur asing yang sering disalahkan sejumlah pejabat Amerika, kata Kolonel Joel Rayburn, dosen senior di National Defense University, yang menjabat sebagai penasihat sejumlah jenderal penting AS di Irak. Rayburn menggambarkan hubungan antara Baath dan ISIS dalam bukunya yang berjudul Iraq After America.

Menurut Rayburn, militer AS selalu tahu bahwa para mantan perwira Baath bergabung dengan kelompok-kelompok pemberontak dan memberikan dukungan taktis bagi cabang Al Qaeda di di Irak, yang menjadi cikal bakal ISIS. Namun, para pejabat Amerika itu tidak mengantisipasi bahwa para mantan perwira tersebut tidak hanya akan menjadi pembantu Al Qaeda. Mereka justru menjadi bagian inti dari kelompok jihad itu.

"Kami mungkin telah mampu menemukan cara-cara untuk mencegah fusi, penyelesaian proses Irakisasi (Iraqization)," kata Rayburn kepada Washington Post. Para mantan perwira itu mungkin tidak dapat dipersatukan lagi, "tetapi pelabelan mereka sebagai tidak relevan merupakan kesalahan."

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com