Boumeddiene adalah istri Amedy Coulibaly, tersangka penembakan perempuan polisi, 8 Januari, yang tewas dalam insiden penyanderaan di supermarket halal di Paris timur, sehari kemudian.

Boumeddiene, yang dianggap mengetahui rencana suaminya dan rencana dua bersaudara Kouachi menyerang tabloid Charlie Hebdo, sehari sebelumnya, kini menjadi wajah problema Perancis dan Eropa pada umumnya. Dia adalah satu dari sekian ribu warga Eropa yang mengadopsi pemikiran radikal, yang dengan sukarela berangkat ke Suriah, Irak, atau negara Timur Tengah lain dan bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), Tanzim Al Qaeda, Front Al Nusra, atau kelompok radikal lainnya.

Eropa pun siaga menghadapi situasi paling dilematis sejak serangan teroris 11 September 2001 di Amerika Serikat. Pasalnya, sejumlah kekerasan di Eropa belakangan ini dilakukan oleh mereka yang kembali dari Suriah, Irak, atau Yaman untuk sekadar menyebut contoh.

Kekhawatiran ini memicu maraknya kelompok anti imigran, terutama asal Timur Tengah dan Afrika Utara, di Eropa. Di Jerman, aksi ini dua tahun terakhir dimotori oleh gerakan PEGIDA. Sejak 2012 dilaporkan terjadi lebih dari 70 serangan pada masjid di Jerman.

Di Perancis, sejumlah properti milik warga Muslim pun menjadi sasaran setelah kasus serangan pada Charlie Hebdo. Said Kouachi, salah satu pelaku serangan tersebut, diketahui pernah berlatih di Yaman.

Inggris, Portugal, Spanyol, Swiss, Swedia, dan Belanda juga mengalami gejala sama. Di Belgia, kecemasan muncul setelah serangan bersenjata pada museum Yahudi di Brussel tahun lalu yang menewaskan empat orang. Pelakunya adalah Mehdi Nemmouche, warga Perancis yang baru kembali dari Suriah.

Merepotkan

Fenomena kelompok radikal dan ketakutan pada imigran menjadi dua persoalan yang terkait dan sangat merepotkan Eropa. Laporan Polisi Badan (Europol) tahun 2014 tentang teroris menyebutkan, semakin banyak warga Eropa terlibat perang di Suriah, yang menjadi ancaman pada keamanan Eropa saat mereka kembali. Sebagian besar dari mereka adalah imigran dari sejumlah negara di Timur Tengah dan Afrika.

Mereka yang kembali ke Eropa dikhawatirkan telah mengadopsi ideologi kelompok radikal, memiliki keterampilan membuat bom atau seni berperang, yang mengancam kestabilan Eropa.

Kementerian Dalam Negeri Inggris melaporkan, lebih dari 500 warga Inggris bergabung dengan NIIS. Adapun warga Jerman yang bergabung dengan NIIS dan kelompok radikal lain mencapai 550 orang. Sebanyak 60 dari mereka tewas dalam pertempuran atau serangan bunuh diri, sedangkan 180 orang sudah kembali ke Jerman.

Dari Perancis diperkirakan 900 orang bergabung dengan NIIS, sedangkan di Belgia sekitar 350 orang.

Europol menyebut, warga Eropa yang pergi ke Suriah tahun 2014 mencapai 3.000 orang. Jumlah ini melonjak pesat dari jumlah tahun sebelumnya yang diperkirakan sekitar 600 orang. Penelitian Pusat Internasional untuk Studi Aksi Kekerasan dan Radikalisme Politik di Berlin, Jerman, menyebutkan, pendukung NIIS asal Eropa terbanyak berasal dari Rusia, disusul Perancis, Inggris, dan Turki.

Departemen Luar Negeri AS melansir, warga asing yang bergabung dengan NIIS sejak 2012 mencapai 16.000 orang. Sebagian besar masuk dari Turki menuju pedesaan di Aleppo, Suriah utara. Tidak heran, di sekitar Aleppo, kerap dijumpai milisi bersenjata berbahasa Inggris, Jerman, atau Perancis.

Gilles de Kerchove, Koordinator Kontra Terorisme Uni Eropa, beberapa waktu lalu memperingatkan, negara-negara Eropa harus siap menghadapi kembalinya warga Eropa yang berperang di Suriah setelah koalisi internasional pimpinan AS melakukan serangan udara. Menurut Kerchove, sebagian dari mereka yang kembali bukan teroris atau kriminalis, melainkan hanya mereka yang butuh penanganan psikologis.

Beberapa waktu terakhir, Belgia dan Jerman bergabung dengan Perancis mengerahkan pasukan militer bersenjata lengkap mendampingi polisi untuk mengantisipasi teror. Problem ini masih akan menghantui Eropa beberapa waktu ke depan.