Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perbedaan "Salam 3 Jari" Indonesia dan Thailand

Kompas.com - 25/11/2014, 12:21 WIB
KOMPAS.COM — Di Indonesia, "salam tiga jari" yang disuarakan sejumlah musisi dan kekuatan sipil ditujukan untuk menyatukan masyarakat yang terpecah akibat gesekan politik dalam pemilu presiden lalu.

Sejumlah musisi Indonesia yang tergabung dalam d'Rumah Harmoni telah meluncurkan album berjudul "Salam 3 Jari", Sabtu (23/11/2014), akhir pekan lalu di Jakarta.

Namun, di Thailand, junta militer negara itu telah menangkap sejumlah mahasiswa dan kelompok lainnya yang melambaikan salam tiga jari karena dianggap sebagai simbol perlawanan.

Rezim militer Thailand, Senin (24/11/2014), telah menahan delapan mahasiswa, kelompok kelima yang ditahan dalam satu minggu ini, termasuk seorang yang melambaikan tangan dengan tiga jari.

Penahanan terhadap mahasiswa ini termasuk satu orang yang ditahan pada Kamis lalu karena melambaikan salam tiga jari, mengikuti film Hollywood, Hunger Games, di bioskop Bangkok.

Pekan lalu adalah pemutaran perdana film dengan tokoh yang mengangkat simbol tiga jari.

Sila ketiga Pancasila

Album "Salam 3 Jari" melibatkan sejumlah musisi terkenal, seperti Slank, Oppie Andaresta, Krisdayanti, serta musisi seperti Dira Sugandi, Michael J, Widi Vieratale, Robi Navicula, hingga Joshua Matulessy. Melalui kelompok d'Rumah Harmoni, album ini ditujukan sebagai kampanye untuk menyatukan kembali masyarakat Indonesia yang disebut terpecah akibat perbedaan politik dalam pemilu presiden lalu.

"Itu diambil dari sila ketiga (Pancasila), Persatuan Indonesia, yang berisi ajakan untuk meninggalkan semua pertengkaran, perbedaan," kata Oppie Andaresta, penyanyi sekaligus inisiator kampanye ini, kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Senin (24/11/2014) sore.

"Jangan lagi saling menghujat, tapi sudah harus melihat ke depan, mulai beraksi untuk persatuan Indonesia," tambahnya.

Sementara itu, drumer grup musik Slank, Bimbim, mengatakan, album ini diniatkan agar masyarakat Indonesia "sama-sama mau hijrah kepada keadaan yang lebih baik".

Pakar psikologi-politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, mengatakan, ajakan untuk mengakhiri pertentangan melalui simbol tiga jari di tingkat masyarakat patut didukung, walaupun tidak akan menghilangkan perbedaan politik di tingkat elite.

"Ditingkat elite, (pertentangan politik) itu akan tetap ada, setidaknya sampai lima tahun ke depan. Tapi, di tingkat masyarakat, memang sudah seharusnya lebur semua," kata Hamdi Muluk kepada BBC Indonesia.

"Artinya, simbol (salam tiga jari) itu tetap relevan," katanya.

Warga Bangkok mempertanyakan

Sejumlah warga Bangkok mengatakan, sikap junta militer yang menerapkan berbagai larangan membuat para mahasiswa merasa frustrasi dan ingin menyuarakan pendapat dengan melambaikan tangan tiga jari.

Seorang warga Bangkok lainnya mengatakan, karena semua hal kecil dilarang di Thailand, simbol salam tiga jari menjadi penting.

Pengamat politik dari Universitas Chulalongkorn, Profesor Prat Panjakunatorn, mengatakan, larangan menyuarakan pendapat secara bebas inilah yang mengangkat pentingnya salam tiga jari.

"Simbol ini muncul karena mereka dilarang menyuarakan pendapat mereka. Para mahasiswa menggunakan simbol tiga jari, seperti halnya karakter dalam film Hunger Games yang tidak bisa mengekspresikan suara untuk menunjukkan ketidaksepakatan mereka terhadap junta," kata Prat Panjakunatorn.

Pemerintah militer Thailand—yang mengambil alih kekuasaan pada bulan Mei—mengatakan, masyarakat bebas menyuarakan suara penentangan, tetapi tidak dizinkan secara terbuka mengungkapkan penentangan terhadap pemerintah.

Jenderal Prayuth Chan-ocha berjanji untuk kembali ke sistem demokrasi. Namun, ia mengatakan, negeri itu belum siap untuk hal tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com