Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akankah Hongkong Meredup Pasca-Revolusi Payung?

Kompas.com - 08/10/2014, 10:56 WIB
HONGKONG, KOMPAS.com — Aksi unjuk rasa warga Hongkong menuntut pemilihan umum bebas yang kemudian disebut sebagai Revolusi Payung memunculkan kekhawatiran bahwa Beijing akan bertindak tegas terhadap bekas koloni Inggris itu.

Namun, sejumlah analis menilai, meski membangkang, Hongkong masih menjadi "Angsa Emas" bagi Beijing sehingga sulit untuk diabaikan dan disisihkan walaupun Shanghai kini dipersiapkan menjadi ibu kota finansial China.

"Karena Hongkong kini membangkang terhadap pemerintah pusat di Beijing, maka Hongkong bisa dianggap sebagai rekan yang tak bisa diandalkan lagi," kata Francis Lun, seorang analis finansial dan CEO Geo Securities, Hongkong.

"Kondisi ini akan memuncak seiring dengan tren bahwa Shanghai suatu hari akan menggantikan Hongkong sebagai ibu kota finansial China. Jika arus sudah berbalik maka situasinya akan sulit diubah dan ini bisa terjadi dalam waktu singkat," tambah Francis.

Namun, sejumlah analis lain menilai dalam jangka pendek pemerintah Beijing belum akan "menyingkirkan" Hongkong. Jika itu terjadi maka Beijing sama dengan melakukan bunuh diri karena selama ini pemerintah pusat selalu menekankan bahwa Hongkong adalah bagian dari China.

Pakar ekonomi dari Capital Economist, Julian Evans-Pritchard, mengatakan menghukum Hongkong secara ekonomi justru akan semakin mempersulit pemerintah Beijing.

"Sangat jelas, Beijing tak suka dengan unjuk rasa ini, tetapi Beijing masih menggunakan Hongkong sebagai model reformasi ekonomi di China daratan," ujar Julian.

"Sehingga, saya pikir Beijing tidak akan menyingkirkan Hongkong. Sangat bodoh jika hal itu dilakukan pemerintah," tambah Julian.

Inggris mengembalikan Hongkong ke pemerintah China pada 1997. Sejak saat itu Hongkong menjadi wilayah China, tetapi memiliki sistem pemerintahan dan hukum sendiri. Warga Hongkong juga menikmati kebebasan dan hak-hak sipil yang tak diperoleh warga China daratan.

Meski demikian, unjuk rasa yang terjadi sedikit banyak dipicu meningkatnya ketimpangan dan biaya hidup ditambah kemarahan warga terkait hubungan baik antara pemerintah kota dan para elite finansial yang memicu kekecewaan di kalangan pemuda.

Persaingan dengan Shanghai

Hongkong tahun ini kembali dinobatkan sebagai wilayah dengan ekonomi paling bebas di dunia. Sebuah gelar yang sudah melekat dengan kota ini selama 20 tahun. Demikian menurut indeks kebebasan ekonomi yang dirilis Heritage Foundation dan Wall Street Journal setiap tahun.

Ironisnya, China yang menjadi induk Hongkong saat ini hanya menempati peringkat ke-137 dalam indeks kebebasan ekonomi itu. Menurut para analis, sistem hukum Hongkong yang transparan dan adil menjadi kunci hubungan antara China dan komunitas finansial global.

Hongkong juga menjadi tujuan investasi utama para pengusaha China. Menurut Kementerian Ekonomi dan Perdagangan China, hampir 60 investasi Negeri Tirai Bambu ditujukan atau dikucurkan lewat Hongkong.

Pada saat yang sama, Beijing juga mencoba mempertahankan kendalinya atas sumber-sumber perekonomian. Sayangnya, lambannya reformasi di Zona Perdagangan Bebas (FTZ) Shanghai mengecewakan berbagai perusahaan asing.

"Sangat jelas pemerintah China ingin mengembangkan Shanghai. Namun, itu bukan berarti Beijing sudah siap untuk meninggalkan Hongkong," kata pakar ekonomi senior ANZ, Raymond Yeung.

Sehingga, Hongkong tak perlu khawatir akan tenggelam dan kalah dari rivalnya di daratan China, Shanghai, dalam waktu dekat. Dinamika masih terus berubah hingga Hongkong secara penuh kembali ke dalam kendali China pada 2047.

Pada saat itu, Hongkong tetap memiliki sejumlah keuntungan, misalnya penggunaan bahasa Inggris yang luas di kalangan warga. Namun, bila saatnya tiba, Hongkong juga akan kehilangan sesuatu, yaitu sistem hukum yang independen.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber AFP
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com