Temuan itu didapat dari hasil survei yang dilakukan terhadap 5.000 orangtua dari 15 negara yang mengombinasikan biaya kuliah rata-rata dan biaya hidup.
Hasil pertama, seorang mahasiswa internasional di Australia diperkirakan menghabiskan lebih dari 42.000 dollar Australia (atau sekitar Rp 455 juta) per tahun untuk biaya kuliah dan biaya penunjang lainnya.
Di urutan kedua, mahasiswa menghabiskan sekitar kurang dari 3.000 dollar per tahun untuk kuliah di Singapura dan membayar sekitar kurang dari 6.000 dollar per tahun di Amerika Serikat.
Meski demikian, hanya seperempat dari jumlah orangtua yang disurvei yang menempatkan Australia di tiga negara terbaik untuk pendidikan.
Penelitian ini, yang dilakukan oleh Bank HSBC, menemukan bahwa 70 persen orangtua yang disurvei berharap agar anak mereka meneruskan kuliah S-1 dan sekitar 40 persennya menginginkan agar anak mereka lanjut ke level master.
Kepala Perbankan Ritel dan Manajemen Keuangan HSBC, Graham Heunis, mengatakan, para orangtua di Australia memiliki sedikit keinginan (41persen) untuk mengirim anak-anak mereka belajar di luar negeri dibandingkan dengan Indonesia, misalnya, di mana tingkatnya mencapai 92 persen.
Ia menjelaskan, hasil di Australia bisa disebabkan oleh persepsi tentang kualitas pendidikan.
“Apa yang ditunjukkan survei itu adalah para orangtua di Australia percaya bahwa sistem pendidikan kita jauh lebih baik... sejujurnya nomor satu dari seluruh sistem pendidikan yang ada, tetapi bukan itu keadaannya bila kita berbicara dengan para orangtua di negara lain,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Kuatnya dollar Australia tak menolong biaya belajar di Australia, tetapi cukup mengkhawatirkan ketika kita ditempatkan di posisi yang cukup bawah dalam hal kualitas, dan kita adalah yang termahal, mengingat pendidikan adalah layanan ekspor terbesar kita.”
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.