Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bara Perseteruan Politik Thailand yang Tak Kunjung Padam...

Kompas.com - 10/05/2014, 13:16 WIB

BANGKOK, KOMPAS.com - Para pendukung pemerintah terkepung Thailand, Sabtu (10/5/2014), berkumpul di pinggiran Kota Bangkok. Mereka bertekad menjaga demokrasi dan menggagalkan kudeta seiring rencana "dorongan akhir" kelompok anti-pemerintah yang berbasis di Central Park. Bara perseteruan politik belum menampakkan gelagat padam di tanah Thailand.

Politisi di Thailand terpolarisasi selama hampir satu dekade terakhir, yaitu di antara pendukung raja dan pengusaha telekomunikasi populis, Thaksin Shinawatra. Saudara perempuan Thaksin, Yingluck Shinawatra, digulingkan dari kursi Perdana Menteri Thailand pada Rabu (7/5/2014).

Penggulingan Yingluck merupakan perkembangan dari demonstrasi yang berlangsung di negeri gajah putih itu dalam enam bulan terakhir. Demonstrasi kubu anti-pemerintah telah mengusir para investor dan turis, sekaligus merontokkan perekonomian negara yang sebelumnya ada di peringkat kedua ekonomi terbesar di Asia Tenggara.

"Kami di sini untuk menunjukkan bahwa kami tidak setuju dengan misi pengunjuk rasa anti-pemerintah menempatkan perdana menteri versi mereka sendiri," kata Thanawut Wichaidit, juru bicara aktivis pro-pemerintah yang dikenal sebagai "Kaos Merah", Sabtu.

Thanawut mengatakan puluhan ribu pendukung setia Yingluck dan Thaksin, mantan perdana menteri juga, berkumpul di pinggiran barat Bangkok untuk menggelar reli membela demokrasi. "Kami hanya menerima seorang perdana menteri yang terpilih secara demokratis," kata dia.

Menurut Thanawut, tujuan akhir para demonstran anti-pemerintah itu adalah menggelar kudeta, baik kudeta diam maupun dengan pelibatan militer. "Kami tidak akan diam untuk itu," ujar dia.

Yingluck tersingkir dari kantornya karena dianggap melanggar kewenangan dengan penunjukan kepala badan keamanan. Pada Kamis (8/5/2014), Yingluck didakwa oleh lembaga anti-korupsi negara itu, atas kelalaian dalam pemberian skema subsidi beras untuk para petani yang disebut menimbulkan kerugian besar bagi negara.

Saat ini partai pengusung Yingluck, Partai Puea Thai, masih menjalankan pemerintahan sementara Thailand. Mereka berencana menggelar pemilu pada 20 Juli 2014 dan masih punya kemungkinan menang.

Namun, para pengunjuk rasa anti-pemerintah menginginkan partai ini angkat kaki dari pemerintahan, penundaan pemilu, dan reformasi total untuk mengakhiri pengaruh Thaksin. "Boneka tanpa kepala Thaksin bisa saja menunjuk seorang perdana menteri sementara, tetapi tindakan itu ilegal," kata pemimpin demonstran anti-pemerintah, Suthep Thaugsuban, Jumat (9/5/2014).

Suthep pernah menjadi wakil perdana menteri dalam pemerintahan yang dijalankan kubu pro-kemapanan, Partai Demokrat. "Kita sudah hampir bisa merasakan kemenangan. Kita tak akan mundur. Kita hampir sampai," seru dia kepada para pendukungnya.

Pertempuran final

Suthep mengumpulkan pendukungnya untuk turun ke jalanan, Jumat, sebagai langkah yang dia sebut "dorongan terakhir" untuk mengambil-alih pemerintahan dan menjalankan "dewan rakyat". Dewan ini dibentuk tanpa melewati pemilu dengan tugas mengawasi reformasi yang mencakup pendepakan Thaksin dari arena politik Thailand.

Sementara itu, Thaksin dan para pendukungnya yang loyal terus memenangi pemilu sejak 2001. Namun, para seterunya menuding kemenangan itu didapat dengan membeli suara. Karenanya, lawan Thaksin ingin mengubah aturan pemilu terlebih dahulu sebelum menggelar pesta demokrasi, demi menghentikan kemungkinan kemenangan lagi partai Thaksin.

Suthep telah meminta Senat untuk menunjuk perdana menteri sementara. Ketua Senat yang baru terpilih Jumat, menjadwalkan sebuah sesi untuk keperluan penunjukan tersebut, Senin (12/5/2014).

Personel polisi menghalau para demonstran anti-pemerintah menggunakan gas air mata, Jumat. Baik massa pro maupun anti-pemerintah, membangun kamp dengan aktivis bersenjata ada dalam barisan mereka. Protes yang masih terus berlangsung ini, meski memiliki basis lokasi yang berjauhan, telah memunculkan masalah ketakutan.

Militer Thailand yang punya reputasi terlibat kudeta sejak berakhirnya kekuasaan mutlak kerajaan pada 1932, belum turun tangan terkait perkembangan situasi politik terakhir negara itu. Namun, kekauan di jalanan meningkatkan kekhawatiran militer bakal kembali ikut campur.

Raja Bhumibol Adulyadej (86), raja yang paling lama bertahta di dunia di era modern ini, telah berupaya membantu meredakan letupan krisis politik sebelumnya. Namun, dia belum turun tangan lagi untuk perkembangan situasi terakhir yang menggelegak sejak akhir 2013.

Kesenjangan antara masyarakat miskin dan kalangan kaya, representasi elite kekuasaan, mengikis tatanan tradisional di Thailand. Orang-orang mulai membahas topik tabu tentang suksesi kerajaan.

Terpuruk dalam krisis politik merupakan hal yang sangat menakutkan. Sementara itu, Putra Mahkota Vajiralongkorn tidak punya semangat pengabdian sebagaimana sang ayahanda.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Reuters
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com