Dalam kuliah bertajuk, "The Indonesian Election; What Really Happened", apa yang disebut sebagai "Jokowi effect", dibahas dengan rinci oleh Dr Dirk Tomsa, pengajar pada Universitas La Trobe.
Dalam uraiannya, Tomsa menjelaskan mengapa "Jokowi effect" dianggap tidak berhasil memberikan dampak raihan suara yang diharapkan sebelumnya oleh PDI-P.
Sudah beredar luas bahwa PDI-P disebut berharap akan mendapatkan suara lebih dari 27 persen secara nasional karena pencalonan Jokowi. Namun, dari hasil hitung cepat yang sudah muncul sejauh ini di Indonesia, PDI-P hanya meraih suara antara 18-19 persen.
Menurut Tomsa, beberapa faktor dilihatnya sebagai penentu berkurangnya target raihan suara tersebut.
"Salah satunya adalah pengumuman pencalonan yang begitu dekat menjelang pemilihan, sistem pemilihan, perilaku pemilih, dan juga faktor media massa di Indonesia," kata Tomsa.
"Penentuan pencalonan Jokowi hanya beberapa hari menjelang pemungutan suara membuat PDI-P tidak bisa maksimal menggunakan kepopuleran Jokowi. Seharusnya, pengumuman ini dilakukan jauh sebelumnya atau tidak diumumkan sama sekali," kata Tomsa.
Namun, faktor yang lebih besar menurut Tomsa adalah sistem pemilihan di Indonesia dan perilaku pemilih. Dalam pemilu, warga memilih nama calon selain partai di mana calon tersebut berasal.
"Para calon ini di seluruh Indonesia memiliki tim sukses sendiri. Mereka sudah lama bergerak sendiri jauh sebelum Jokowi dicalonkan. Para calon ini menjalankan strategi mereka sendiri, dan tidak selalu mendukung kebijakan partai atau calon presiden," kata Tomsa.
Pendapat ini juga didukung oleh pembicara Dr Dave McRae, peneliti senior Universitas Melbourne, yang mengikuti dari dekat proses pemilihan di Indonesia dengan meneliti perilaku pemilih di Surabaya dan Sidoarjo di Jawa Timur.