Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Oposisi Thailand Berupaya Lumpuhkan Bangkok

Kompas.com - 13/01/2014, 11:06 WIB
BANGKOK, KOMPAS.COM - Para demonstran yang berasal dari oposisi Thailand, Senin (13/1/2014), melancarkan upaya untuk melumpuhkan kota Bangkok. Mereka menduduki sejumlah persimpangan jalan utama di ibukota itu dalam sebuah eskalasi kampanye untuk menggulingkan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra.

Para demonstran menginginkan perdana menteri yang tidak diskukai itu mundur dari pemerintahan sehingga membuka jalan bagi pemerintah baru yang ditunjuk yang akan mengawasi reformasi pemilu. Pemerintahan baru yang bakal ditunjuk, yang bersifat sementara, diharapkan dapat mengendalikan dominasi politik keluarga Yingluck yang miliarder itu dan mencegah budaya politik uang meluas.

Ribuan pengunjuk rasa yang mengibarkan bendera, beberapa mengenakan T-shirt berslogan "Bangkok Shutdown", berkumpul di titik-titik strategis di kota, termasuk di luar pusat perbelanjaan besar yang pernah dibakar dalam kerusuhan politik yang mematikan tahun 2010.

"Kami akan berjuang terlepas dari apakah kami menang atau kalah. Kami tidak akan berkompromi atau menerima negosiasi," kata Suthep Thaugsuban, pemimpin protes, kepada kerumunan orang saat unjuk rasa pada Minggu malam.

Politisi oposisi itu, yang menghadapi tuduhan pembunuhan terkait tindakan tegas militer yang makan korban jiwa saat protes politik ketika dia sendiri menjadi wakil perdana menteri tahun 2010, ditetapkan untuk memimpin pawai yang akan melewati pusat kota pada Senin malam. Namun masih belum jelas berapa banyak dukungan yang dia bakal peroleh dari penduduk Bangkok.

Sejumlah orang menyuarakan kekhawatiran bahwa aksi itu akan mengganggu mata pencaharian mereka. "Tentu saja hal itu akan memengaruhi saya. Saya sangat stres," kata pemilik salon rambut, Tong (69 tahun). "Sekarang tidak ada pelanggan yang datang karena pelanggan saya tidak bisa berkendara ke sini."

Pihak berwenang mengatakan, mereka siap menyatakan keadaan darurat jika ada kerusuhan baru, dan sekitar 20.000 polisi dan tentara akan dikerahkan untuk mengamankan keadaan. Tetapi mereka belum mencoba untuk menghentikan para demonstran yang mengambil alih beberapa bagian kota jelang pemilu pada 2 Februari. Para demonstran hendak mengganggu pelaksanaan pemilu itu.

Para pengunjuk rasa telah bersumpah untuk menghentikan para pejabat yang akan berangkat kerja dan memutuskan aliran listrik ke kantor-kantor penting negara sebagai bagian dari upaya melumpuhkan kota itu.

Terkait rencana itu, pihak berwenang telah memperingatkan bahwa hal tersebut dapat menyebabkan pertumpahan darah lebih lanjut. Sejumlah tembakan, yang dilakukan oleh orang dari dalam mobil yang melaju, telah dilepaskan di markas oposisi, Partai Demokrat, pada dini hari Senin, tetapi tidak ada yang terluka dalam peristiwa itu. Seorang anggota tim keamanan para demonstran juga ditembak mati pada Minggu malam setelah bertengkar dengan pria tak dikenal di dekat lokasi unjuk rasa. Delapan orang lainnya, termasuk seorang polisi, tewas dan puluhan orang lainnya luka-luka dalam kekerasan jalanan sejak protes itu dimulai lebih dari dua bulan lalu.

Perselisihan sipil itu merupakan yang terburuk sejak tahun 2010, saat lebih dari 90 orang tewas dalam bentrokan jalanan antara demonstran pro-Thaksin dan militer.

"Ini akan sangat rapuh," kata Pavin Chachavalpongpun, mantan diplomat Thailand dan profesor di Pusat Studi Asia Tenggara di Universitas Kyoto Jepang. Dia mengatakan, ada risiko "kekerasan politik". Para pengunjuk rasa telah berada di bawah tekanan untuk mencapai tujuan mereka untuk menyingkirkan pemerintah sebelum pemilihan umum, yang kemungkinan akan mengembalikan Yingluck dan partainya ke kursi kekuasaan. "Di satu sisi tidak ada jalan kembali bagi para pengunjuk rasa, mereka telah maju terlalu jauh," tambahnya.

Krisis politik saat ini merupakan babak terbaru dalam saga ketidakstabilan politik dan kerusuhan berkala yang melanda Thailand sejak kakak Yingluck, mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra, digulingkan para jenderal royalis tujuh tahun lalu. Miliarder yang berubah haluan menjadi politisi itu, yang saat ini tinggal di luar negeri guna menghindari hukuman penjara karena kasus korupsi, punya dukungan elektoral yang besar terutama di Thailand utara, di mana ia dipuja karena kebijakan pro orang miskin.

Namun dia dicerca kalangan elite Thailand dan oleh banyak kalangan kelas menengah Bangkok dan Thailand selatan, yang melihat dia sebagai sosok otoriter. Mereka juga menuduh dia telah membeli suara dalam pemilu.

Para pengunjuk rasa menginginkan "Dewan Rakyat" yang ditunjuk untuk menjalankan negara dan mengawasi reformasi pemilu. Dewan itu diberi mandat satu tahun hingga 18 bulan untuk memerintah. Setelah itu barulah pemilu digelar.

Kebuntuan terbaru ini menghidupkan kembali kekhawatiran akan adanya penggulingan pemerintahan oleh militer. Thailand sudah mengalami 18 kali kudeta atau percobaan kudeta sejak 1932.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber AFP
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com