JERUSALEM, KOMPAS.com — Mantan Perdana Menteri Israel, Ariel Sharon, saat ini dinyatakan dalam kondisi kritis, setelah koma selama delapan tahun terakhir. Ini perjalanan karier kontroversial Sharon, dari perang enam hari, pembantaian di Lebanon, hingga masa pemerintahannya sebagai perdana menteri.
Lahir pada 1928 di Kfar Malal, Sharon lulus perguruan tinggi pada 1945 dan bergabung dengan Haganah, kelompok militan yang memperjuangkan kemerdekaan Israel. Kariernya menanjak di jajaran militer Israel pada 1953, setelah dia membentuk unit komando elite.
Dari unit komando elite itu, Sharon mendapatkan pangkat mayor jenderal, pangkat yang dia kenakan saat perang enam hari pada 1967, perang yang menjadi awal perluasan wilayah dan pendudukan Israel atas wilayah Palestina sampai detik ini.
Karier militer Sharon masih terus berlanjut sesudahnya. Dia adalah Kepala Divisi Lapis Baja Cadangan Angkatan Darat Israel dalam perang Yom Kippur, 1973.
Sharon mulai masuk di jajaran pemerintahan Israel, dengan menjadi penasihat militer Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin serta menteri pertanian dan menteri pertahanan, pada periode 1981 sampai 1983.
Invasi Israel ke Lebanon tak terlepas dari sosok Sharon. Invasi tersebut menggunakan dalih memburu para pejuang Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), tetapi turut memakan korban jiwa ratusan warga sipil Lebanon.
Invasi ke Lebanon inilah yang membuat negara-negara di kawasan Timur Tengah menyebut Sharon sebagai "Jagal dari Beirut". Penyelidikan resmi Israel mendapatkan bahwa Sharon secara tidak langsung bertanggung jawab atas pembunuhan 2.000 orang Palestina di kamp Sabra dan Shatila di luar Beirut, Lebanon, pada September 1982.
Penyelidikan tersebut mendorong pengunduran diri Sharon dari militer, meski tak ada upaya apa pun dari Pemerintah Israel untuk menghentikan sekutunya menyerang kamp pengungsi Palestina dengan dalih kekhawatiran serangan balasan terhadap pemimpin Israel.
Sharon tak lama menjadi sorotan atas pembantaian tersebut. Penasihatnya, Ranaan Gissin, mengatakan bahwa Sharon justru merasa telah dikhianati pemerintah.
Sharon juga menggugat artikel majalah yang berbasis di Amerika, yang menuding dia tahu dan berperan besar dalam pembantaian itu. Juri di pengadilan menyatakan majalah tersebut bersalah melakukan pencemaran nama baik.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.