Namun, siapa sangka sebuah momen yang melambangkan rekonsiliasi Afrika Selatan pada 10 Desember 1993 itu nyaris tak pernah terjadi. Pasalnya, banyak pendukung Mandela yang tak rela tokoh panutannya berdiri berdampingan dengan orang yang pernah memenjarakan dia selama 27 tahun.
"Saat telepon berdering pada 15 Oktober 1993, dengan keputusan panitia hadiah Nobel, reaksinya saat itu sangat keras dan sebagian dari kami ragu untuk mendukung penghargaan bersama De Klerk," kata salah seorang tokoh Kongres Nasional Afrika (ANC), Tokyo Sexwale.
"Sebagian dari kami tidak rela. Kami tak sudi melihat Nelson Mandela, seorang ikon, menerima Nobel dengan orang yang menindasnya," ujar Sexwale.
Situasi saat itu memang sulit di Afrika Selatan. Pada saat pembicaraan dengan pemerintahan apartheid De Klerk sudah mendapat banyak kemajuan, tetapi kekerasan di jalanan terus berlangsung.
Meski pemilihan semua ras yang pertama di Afrika Selatan akan digelar pada 1994, bentrokan antara pendukung ANC dan Partai Inkatha yang dimotori etnis Zulu terus terjadi dan mengakibatkan korban jiwa.
Pada saat yang sama, banyak tokoh ANC yang tewas dibunuh aparat keamanan pemerintah apartheid. "Kami sangat menderita. Banyak anggota keluarga kami yang tewas, teman yang dibunuh. Kami menyaksikan sendiri apartheid meledakkan kantor kami," kenang Sexwale.
"Dengan kondisi seperti itu, bagaimana bisa kami melakukan rekonsiliasi dengan mereka?" tanya Sexwale.
Mandela bersikukuh
Namun, lanjut Sexwale, Mandela sendiri yang bersikukuh dan terus berupaya meyakinkan rekan-rekannya bahwa jalan yang dipilihnya adalah jalan yang benar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.