KOMPAS.com — Korban terus berjatuhan hingga ratusan jumlahnya. Bahkan, ada yang mengklaim hingga ribuan. Satu per satu situs web yang diidentifikasi milik lembaga Pemerintah Australia ataupun milik lembaga nonpemerintah Australia, swasta, bahkan situs nonprofit Australia dilumpuhkan.

Hingga Rabu (20/11/2013) malam, prajurit siber terus bertempur memburu korban dari Australia. Sebagian besar menamakan diri sebagai Anonymous Indonesia, tetapi sebagian kecil bekerja secara pribadi.

Percakapan di media sosial tiga hari terakhir juga terus meningkat terkait perang ini. PoliticaWave memantau percakapan di media sosial ini dan mengungkap kecenderungan percakapan dari kedua kubu.

Menurut Direktur PoliticaWave Yose Rizal, setidaknya ada 71.406 percakapan dari 27.146 akun pengguna internet (netizen) dalam rentang tiga hari terakhir dan menjangkau lebih dari 65,8 juta akun.

”Sebagian besar netizen menunggu reaksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Netizen berharap SBY menanggapi isu itu secepat Kanselir Jerman Angela Merkel yang langsung menghubungi Presiden Barack Obama secara pribadi untuk memverifikasi hal tersebut,” kata Yose.

Serangan balasan

Terdengar kabar, Anonymous Australia membalas serangan peretas Indonesia dengan meretas beberapa situs web, mulai situs web pemerintah hingga media online. Bahkan, mereka mengaku berhasil mencuri data kartu kredit dari situs penerbangan di Indonesia serta data login di situs web institusi pendidikan pemerintah.

Namun, sebuah akun Twitter dari Australia, yaitu @Op_Australia, membantah bahwa komunitas Anonymous Australia ikut-ikutan dalam perang siber. ”Kami tidak dalam perang dengan Indonesia,” katanya.

@Op_Australia menolak tuduhan pihaknya sedang berperang dengan peretas Indonesia. Mereka balik menuduh, Indonesia yang meretas beberapa situs web Indonesia kemudian mencoba mengadu domba.

Peretas Australia mengirimkan video melalui YouTube kepada peretas Indonesia bahwa yang seharusnya jadi target peretasan (hacking) adalah situs web pemerintahan yang terkait intelijen. Bukan situs-situs yang tak berdosa.

Beberapa komentar dari akun orang Indonesia juga tampak tak menghendaki perang ini, salah satunya akun Ronal Arnoldi. Menurut Ronal, tak semestinya sesama anonymous saling serang.

”Kita semua anonymous. Ada kita di dalamnya. Saya bukan anggota anonymous. Saya merasa kalian bodoh saling mendeklarasikan perang sesama. Anonymous itu satu, tak ada batasan negara,” kata Ronal.

Bukan kesalahan orang Australia

Akun Muhammad Fakhriansyah di YouTube mengingatkan, kasus penyadapan ini bukan kesalahan orang Australia, melainkan kesalahan Pemerintah Australia.

Namun, perang tak terelakkan lagi. Klarifikasi dari komunitas peretas Australia sudah tak menolong banyak. Kini, satu-satunya yang bisa mengerem adalah komunitas netizen yang merasa perang siber bukanlah solusi asyik untuk dunia mereka.

Peretas Australia menuduh Indonesia hanya menyerang situs web secara random sehingga tujuan ideologisnya diragukan. Dalam video yang diunggah Wayne Carr berjudul "Final Warning to Anonymous Indonesia" menunjukkan kemarahan peretas Australia terhadap serangan random tersebut.

Sentimen positif

Selain aksi perang, sentimen positif diberikan juga pada aksi diplomatik Indonesia. Hampir seluruh pemberitaan mengenai reaksi Pemerintah Indonesia mendapat sentimen positif. Pernyataan Presiden SBY melalui akun @sbyudhoyono yang menyayangkan pernyataan PM Australia yang menganggap remeh penyadapan terhadap Indonesia juga mendapat sentimen positif.

Reaksi positif lain yang diberikan netizen adalah aksi perang siber di dunia maya yang dilakukan oleh grup peretas yang menamakan dirinya Anonymous Indonesia. Perang ini dilakukan dengan menyusup dan melumpuhkan situs-situs yang berasal dari Australia.

Di media sosial terkuak alasan sederhana, perang siber ini hanya bisa dihentikan jika Pemerintah Australia memberi pengakuan penyesalan dan meminta maaf. Jika tidak, upaya melumpuhkan internet Australia akan dilakukan dengan meminimalkan korban ”sipil” tak berdosa. (Amir Sodikin)