Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ironi Negara Peraih Hadiah Nobel Ekonomi

Kompas.com - 15/09/2013, 10:29 WIB
Siapa pun yang belajar ilmu ekonomi pasti tahu bahwa pajak adalah salah satu instrumen redistribusi pendapatan. Dengan pendapatan, pemerintah bisa meningkatkan jaminan sosial, bantuan kepada warga kurang beruntung. Inilah yang juga dicanangkan Presiden AS Barack Obama dengan program Medicare.

Akan tetapi, bukan itu yang dikehendaki kelompok Republiken AS selama bertahun-tahun, terutama sejak era kepemimpinan almarhum Ronald Reagan (1980-1988), yang terkenal sangat antipajak.

Pada tahun 2003, ketika Presiden George W Bush berencana menekan tingkat pajak, ekonom peraih Hadiah Nobel, Joseph E Stiglitz, sudah mengingatkan dampak negatifnya di kemudian hari. Stiglitz mengkritik pengurangan pajak yang akan melumpuhkan sektor keuangan Pemerintah AS. Ia juga mengingatkan pemborosan anggaran yang tak penting untuk invasi Irak.

Pandangan peraih Hadiah Nobel Ekonomi lain, Paul Krugman, tentang kerasukan korporasi dan sistem ekonomi yang tak memperhatikan kaum tertinggal AS juga tak didengar.

Kebijakan ekonomi AS yang amburadul tidak saja menyebabkan kebangkrutan secara teknis keuangan negara AS, tetapi juga menyebabkan timbunan utang hingga mencapai 105 persen dari total produk domestik bruto. Utang menumpuk juga karena biaya perang.

Mencapai rekor

Tragedi lain yang tercatat dan mencapai rekor adalah kesenjangan pendapatan antara kelompok 1 persen warga terkaya AS dan 99 persen sisanya, yang meningkat pada periode 2009-2012. Bahkan, kesenjangan itu adalah yang paling tinggi sejak malaise atau resesi besar pada tahun 1929.

Inilah hasil studi secara saksama yang dilakukan para ekonom dari University of Berkeley, Paris School of Economics, dan Oxford University pada tahun ini. Kesenjangan itu disimpulkan berdasarkan analisis terhadap data dari Internal Revenue Service, semacam dinas pendapatan Pemerintah AS. Mereka mengevaluasi data pendapatan sejak tahun 2013.

Pada tahun 2008, ekonomi AS mengalami resesi dan biasanya resesi memperkecil kesenjangan. Namun, di AS, kesenjangan pendapatan malah meningkat setelah tahun 2009 atau setelah puncak resesi pada tahun 2008.

Pendapatan kelompok 1 persen warga terkaya malah meningkat 31,4 persen pada periode 2009-2012. Di sisi lain, pendapatan kelompok 99 persen sisanya hanya naik 0,4 persen. Kaum kaya semakin kaya.

Kelompok 1 persen warga terkaya ini adalah para eksekutif bergaji tinggi dan pengusaha. Di dalamnya tak termasuk kaum elite yang menikmati hidup dari kekayaan yang mereka warisi. Kelompok 1 persen ini bekerja di sejumlah korporasi besar yang mendapatkan dana talangan lebih dari 1,7 triliun dollar AS untuk mencegah kebangkrutan massal korporasi AS akibat resesi 2008.

Ironisnya, di saat dana talangan itu masih dikucurkan, sebagian korporasi besar itu malah sibuk bagi-bagi bonus. Salah satu alasan yang diberikan adalah para eksekutif hanya mau bekerja dengan perangsang berupa gaji dan bonus tingi.

Pesaing Obama dalam pemilu presiden AS 2012, Mitt Romney, mengkritik kebijakan ekonomi AS di bawah Obama. Obama menyerang balik bahwa ia mendapatkan warisan ekonomi buruk sebagai buah dari kinerja buruk Bush, yang banyak ditinggalkan para penasihat ekonomi.

Kemudian, Obama berupaya meningkatkan tingkat pajak bagi warga terkaya AS. Ini merupakan program yang ia canangkan sejak tahun 2009. Namun, ini juga mendapatkan hambatan besar dari Partai Republik, yang memiliki falsafah antipajak.

Tokoh Partai Republik, Grover Norquist, sangat gencar berkampanye antipajak.

Akibatnya, kesenjangan semakin menjadi-jadi. Pada tahun 2009, pendapatan kelompok 1 persen warga terkaya memiliki pangsa 19,3 persen dari total pendapatan rumah tangga di AS. Kelompok 10 persen warga terkaya AS memiliki 48,2 persen dari total pendapatan rumah tangga. Artinya, hampir setengah pendapatan rumah tangga di AS dikuasai oleh hanya 10 persen warga.

Kelompok 1 persen warga terkaya memiliki pendapatan tahunan sebelum pajak rata-rata 394.000 dollar AS per tahun pada 2012. Adapun Kelompok 10 persen warga terkaya memiliki rata-rata pendapatan 114.000 dollar AS di tahun yang sama.

Pendapatan yang dimaksud di sini adalah hasil dari gaji, pembayaran pensiun, dividen, dan keuntungan dari saham dan aset-aset lainnya. Ini belum termasuk pendapatan hasil transfer dari pemerintah, seperti tunjangan pengangguran dan jaminan sosial.

Memperburuk kesenjangan

Hal yang turut memperburuk kesenjangan pendapatan adalah posisi tawar-menawar serikat pekerja. Pelimpahan pekerja lewat outsourcing (alih daya) ke India dan Filipina dan tekanan pada  upah akibat persaingan dari manufaktur China turut menekan upah buruh di AS.

Lawrence Katz, ekonomi dari Universitas Harvard, mengatakan, kesenjangan terjadi karena lemahnya pasar tenaga kerja, resesi ekonomi yang menyebabkan PHK, dan pengetatan anggaran negara akibat defisit besar yang juga berdampak negatif pada kaum lemah.

Kesenjangan pendapatan berkurang setelah Perang Dunia II, terutama sejak serikat bekerja menuntut hak lebih dan pemerintah menjamin upah minimum untuk menolong kaum miskin dan warga kelas menengah. Namun, liberalisasi ekonomi yang meniadakan kontrol dan hak-hak serikat buruh memperburuk kesenjangan.

Keberadaan pekerja AS yang berada di bawah serikat pekerja anjlok dari 23,3 persen pada tahun 1983 menjadi hanya 12,5 persen pada tahun 2012. Ini didasarkan pada data Departemen Tenaga Kerja AS.

Porsi pendapatan warga 1 persen terkaya hanya sekitar 7,7 persen dari total pendapatan rumah tangga AS pada tahun 1973. Porsi ini meningkat pesat sejak dekade 1980-an. Pada tahun 1927, satu persen warga terkaya AS hanya meliputi 18,7 persen dari total pen dapatan rumah tangga di AS.

Emmanuel Saez dari University of California at Berkeley mengatakan, pendapatan 1 persen warga terkaya AS ini meningkat pesat, yakni 86 persen, selama periode 1993-2000. Ini terjadi di bawah Presiden Bill Clinton (Demokrat). Namun, jangan lupa, Clinton juga menghadapi tantangan berat untuk meningkatkan pajak dan jaminan sosial.

Saez mengatakan, pendapatan warga terkaya AS meningkat pada tahun 2012 karena mereka menjual saham-saham untuk menghindari pajak yang mulai berlaku pada 1 Januari 2013. Hasil penelitian situs berita investigatif MotherJones membenarkan hal itu.

Selama masa puncak krisis 2007-2009, pendapatan warga terkaya AS memang sempat anjlok 36 persen akibat kejatuhan harga-harga saham. Sementara pendapatan 99 persen warga di luar itu anjlok 11,6 persen.

Setelah tahun 2009, kelompok 1 persen warga terkaya AS mengalami peningkatan pendapatan karena kenaikan harga saham dan laba korporasi. Ini dimungkinkan karena perlawanan Republiken tentang usulan kenaikan pajak dividen.

Bahkan, sebesar 95 persen dari total pendapatan rumah tangga pada tahun 2009 masuk ke kantong 1 persen warga terkaya. Ini karena total pendapatan di AS pada saat itu mayoritas berasal dari kenaikan aset-aset investasi dan bukan karena produktivitas ekonomi.

Hal ironis lain adalah selama periode 2009-2012, laba korporasi AS meningkat walau perekonomian AS masih lesu dan pengangguran masih tinggi, yakni sekitar 7,2 persen. Hal ini dimungkinkan karena korporasi AS meraih laba dari hasil bisnis di luar negeri, yang juga luput untuk dipajaki.

Inilah ironi di negara adidaya dan pencetak para ekonom peraih Hadiah Nobel Ekonomi. (AFP/REUTERS/AP/MON)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com