Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Putin: Pemberontak Suriah yang Gunakan Senjata Kimia

Kompas.com - 12/09/2013, 13:21 WIB
WASHINGTON, KOMPAS.COM — Presiden Rusia Vladimir Putin, Rabu (11/9/2013), menyatakan bahwa para pemberontak Suriah berada di balik serangan senjata kimia yang mendorong Amerika Serikat mengancam untuk melancarkan serangan militer terhadap rezim Bashar Al Assad.

Dalam tulisan opininya di harian York Times yang dirilis pada Rabu malam, Putin menyatakan bahwa para pemberontak melancarkan serangan itu guna memprovokasi intervensi militer asing yang menguntungkan mereka. Putin membuat tuduhan tersebut pada malam pembicaraan tingkat tinggi di Geneva antara para diplomat AS dan Rusia.

Menteri Luar Negeri AS John Kerry telah menuju ke Geneva untuk mengadakan pembicaraan dengan mitranya dari Rusia, Sergei Lavrov, terkait sebuah proposal yang akan membuat Suriah menyerahkan senjata kimianya.

Dalam sebuah paparan yang memperlihatkan adanya jurang lebar antara posisi AS dan Rusia, Putin mengatakan para lawan Assad bertanggung jawab atas serangan pada 21 Agustus di Ghouta.

Amerika Serikat mengatakan, serangan tersebut menewaskan lebih dari 1.400 orang. Presiden Barack Obama telah mendorong adanya aksi militer terhadap Suriah menyusul serangan itu, yang menurut AS dan para sekutunya serta sejumlah pemantau independen dilakukan oleh pasukan Pemerintah Suriah.

"Tidak ada yang ragu bahwa gas beracun telah digunakan di Suriah," tulis Putin. "Namun, ada alasan untuk percaya bahwa senjata itu tidak digunakan oleh Angkatan Darat Suriah, tetapi oleh pasukan oposisi, guna memprovokasi intervensi dari patron asing mereka yang kuat, yang akan memihak kaum fundamentalis."

Putin memperingatkan bahwa setiap serangan militer AS di Suriah yang terjadi tanpa persetujuan PBB akan merusak lembaga global itu dan berisiko untuk memicu konflik regional yang lebih luas. Aksi militer semacam itu akan "menghasilkan lebih banyak korban tidak bersalah dan eskalasi konflik, berpotensi menyebarkan konflik jauh melampaui perbatasan Suriah," tulis Putin.

Putin menyebut penampilannya yang tidak biasa di Times itu sebagai sebuah kesempatan untuk "berbicara langsung kepada rakyat Amerika dan para pemimpin politik mereka. Tidak ada yang ingin PBB mengalami nasib seperti Liga Bangsa-Bangsa, yang ambruk karena sebenarnya tidak punya pengaruh," tambahnya. "Hal ini bisa terjadi jika negara-negara yang berpengaruh mengabaikan PBB dan melakukan aksi militer tanpa otorisasi Dewan Keamanan."

Rusia berulang kali mengindikasikan akan memveto setiap resolusi PBB yang berusaha untuk menyalahkan pemerintah Assad atas serangan di Ghouta. Putin menulis dalam opininya bahwa sebuah serangan militer Amerika dapat menyebabkan korban jiwa yang besar dan akan memicu gejolak di seluruh Timur Tengah yang memang sudah bergolak.

"Sebuah serangan akan meningkatkan kekerasan dan menimbulkan gelombang baru terorisme." Hal itu bisa merusak upaya multilateral untuk menyelesaikan masalah nuklir Iran dan konflik Israel-Palestina dan terus membuat Timur Tengah dan Afrika Utara tidak stabil. Serangan itu bisa menyebabkan seluruh sistem hukum dan aturan internasional menjadi tidak seimbang."

Peringatan Putin itu secara umum mengecam kebijakan luar negeri AS setelah era 9/11. Dia menuduh Amerika menerapkan kebijakan luar negeri model "kekerasan brutal". Putin mengingatkan bahwa AS telah gagal dengan model itu di Irak, Afganistan, dan Libya. "Jutaan orang di seluruh dunia semakin melihat Amerika bukan sebagai model demokrasi, melainkan hanya mengandalkan kekerasan brutal, membentuk koalisi bersama di bawah slogan 'Kalian bersama kami atau melawan kami'. Namun, kekerasan itu telah terbukti tidak efektif dan sia-sia."

Menurut Putin, hasil dari kebijakan Amerika itu telah membuat Afganistan "sempoyongan," Libya "terbelah", dan Irak ditinggalkan dalam kondisi perang sipil yang sedang berlangsung dengan kondisi "puluhan" orang tewas setiap hari.

Dia menyimpulkan dengan sebuah kritik keras terhadap doktrin ideologis Amerika perihal "kehebatan Amerika". "Sangat berbahaya mendorong orang untuk memandang diri mereka sebagai luar biasa, apa pun motivasinya," katanya. "Ada negara-negara besar dan negara-negara kecil, negara kaya dan miskin, mereka dengan tradisi demokrasi yang panjang dan mereka yang masih mencari jalan menuju demokrasi. Kita semua berbeda (tetapi ) ... kita tidak boleh lupa bahwa Tuhan menciptakan kita sama."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com