Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Trauma Perang Hantui Pengungsi Suriah

Kompas.com - 23/08/2013, 10:08 WIB
Oleh: Agus Morales

PARA pengungsi Suriah mungkin sudah terhindar dari serangan peluru dan misil, tetapi luka fisik dan emosional dari konflik yang terjadi akan terus menghantui.

Ahmed Beidun menunjukkan dokumen berisi kesehatan miliknya, sementara anaknya bermain di lantai tak jauh dari sana. Ahmed kehilangan kaki kirinya dalam sebuah serangan udara di Aleppo dan dokumen yang menjadi bukti parahnya luka yang ia alami tersebut, merupakan "tiket" baginya untuk melintasi perbatasan yang memisahkan Suriah dan Turki. Dia dan keluarganya tiba di kota Kilis, Turki, dengan sedikit uang dan tidak ada tempat tinggal. Ketika seorang warga setempat mendengar kesulitan yang dialami Ahmed, dia pun menawarkan garasinya untuk dijadikan tempat tinggal sementara.

"Orang-orang Turki sangat baik kepada kami," ujar Ahmed.

Serangan udara yang terjadi di Aleppo, kota utama di utara Suriah tersebut, telah mengubah hidup Ahmed. “Ada tiga buah rudal yang diluncurkan waktu itu,” kenang Ahmed. “Sepupu saya awalnya membawa saya ke rumah sakit, tapi karena pasien melimpah dan saya takut dirawat di RS umum, karena saya berasal dari sebuah desa yang dikuasai oleh pemberontak. Akhirnya, saya dibawa ke sebuah RS swasta tempat dimana kaki kiri saya diamputasi.”

Setelah menjalani operasi, Ahmed membujuk keluarga besarnya untuk meninggalkan Suriah dan pergi ke Kilis, perhentian pertama bagi banyak pengungsi yang menuju arah utara.

Tikar, selimut, dan peralatan makan ditumpuk di lantai garasi. Pakaian berjubelan di seutas tali yang menjadi pemisah antara “ruang keluarga” dari dapur darurat dengan kompor bongkar-pasang dan wadah-wadah plastik. Ahmed berharap agar bisa mendapatkan tempat di kamp pengungsian, namun sampai saat ini garasi dengan kondisi yang memprihatinkan itulah yang menjadi satu-satunya tempat berteduh yang bisa mereka temukan. Di garasi itulah, Ahmed dan keluarganya tinggal bersama dua orang sepupu Ahmed beserta istri dan anak-anak mereka – sebanyak 16 orang tinggal berdesakan di ruangan yang hanya seluas 50 meter persegi.

Lebih dari 380.000 warga Suriah telah mengungsi ke Turki. Kebanyakan dari mereka—sekitar 350.000—merupakan pengungsi terdaftar dan mereka berhak untuk tinggal di kamp-kamp pengungsian milik Bulan Sabit Merah Turki. Sisanya, sebanyak 30.000 lagi, masih menunggu proses registrasi atau memutuskan untuk tidak mendaftar agar bisa bebas pindah ke wilayah lain di Turki.  

“Banyak warga yang menyebrangi perbatasan secara ilegal,” kata Alison Criado-Perez, salah seorang perawat MSF. “Mereka datang dengan uang yang sedikit. Di luar kamp, sulit bagi mereka untuk mendapatkan tempat tinggal.” Alison bekerja di sebuah klinik milik MSF di Kilis, yang kebanyakan pasiennya merupakan pengungsi yang tinggal di luar kamp. “Perawatan kesehatan sangat dibutuhkan,” ujarnya.

Banyak dari pasien klinik tersebut melintasi perbatasan tanpa tanda pengenal karena paspor mereka sudah habis masa berlakunya atau hilang dalam kekacauan selama perang.   

“(Melintasi perbatasan) merupakan tindakan yang sangat berbahaya,” ujar seorang pemuda Suriah, yang telah menyelundup beberapa kali melewati pepohonan zaitun yang tumbuh subur di perbatasan. “Anda bisa saja tertembak.”

Tak peduli kaya atau miskin dan di mana mereka tinggal sekarang, semua pengungsi Suriah sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri kehancuran kehidupan mereka dan menghadapi masa depan yang tak pasti.

“Bisnis saya dulu berjalan dengan lancar,” ungkap seorang pria, mengenang showroom perabot miliknya di Suriah dan kunjungan-kunjungan yang pernah ia lakukan ke Istanbul dan Athena dalam rangka mencari inspirasi untuk desain mini bar dan hiasan tempat tidur. Sekarang showroom-nya hanya tingal puing, hancur lebur oleh serangan tank, dan dia sekarang jadi pengangguran. “Saya kangen kehidupan saya sebelum perang,” keluhnya.

Melintasi perbatasan menuju Turki bukanlah akhir dari berbagai persoalan yang dihadapi para pengungsi Suriah, tetapi merupakan awal dari sebuah proses berat pemulihan emosional. Hal ini terutama dirasakan oleh korban yang terluka parah atau mereka yang meninggalkan sanak keluarga di Suriah.

Sebagian besar pengungsi adalah perempuan dan anak-anak, yang membuktikan banyaknya keluarga yang tercerai-berai akibat perang.

Perawatan psikologis merupakan bagian yang sangat penting dari proses pemulihan. Sonya Mounir, manajer program kesehatan mental MSF di Kilis, mengepalai sebuah tim psikolog yang bertujuan membantu pengungsi Suriah menghadapi masa-masa sulit hari ini dan bangkit menuju masa depan. “Tujuan utama kami adalah membantu mereka menyesuaikan diri dengan situasi yang baru,” ujar Sonya. “Agar mereka bisa menjalani hidup, memiliki harapan, ide-ide, serta mimpi-mimpi.”

Bagi Ahmed, semua hal tersebut sudah menunggu di depan mata. Ia akan segera meninggalkan garasi tempat ia sekarang tinggal dan pindah ke tempat yang lebih layak di kamp pengungsian Turki. Namun, kruk yang disandarkan di dinding, merupakan pengingat akan serangan udara di Aleppo dan cacat serius yang harus ia tanggung. Ketika ditanya tentang harapannya di masa mendatang, Ahmed terdiam. Kemudian, ia mengatakan, “Saya ingin kaki baru. Saya kehilangan kaki dan tidak bisa bekerja. Dulu saya bisa bermain dengan anak saya, tapi sekarang saya tidak bisa lagi.”

Agus Morales, reporter untuk Dokter Lintas Batas (Médecins Sans Frontières/MSF). Saat ini bekerja sebagai penasihat komunikasi untuk situasi darurat dan pernah bekerja di Sudan Selatan dan Suriah.

Baca juga:
Saat Ruang Kerja Dokter Hanya Sebuah Kontainer Besi
Rintihan Korban Perang Suriah di Aleppo

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com