Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rintihan Korban Perang Suriah di Aleppo

Kompas.com - 22/08/2013, 10:50 WIB
Oleh: Agus Morales

ALIA Mosa terbaring di atas tempat tidur di sebuah rumah sakit di utara Suriah. Kedua kakinya dibalut perban. Kemarahan dan kesedihan terpancar jelas dari matanya, dan dengan putus asa ia bercerita. “Waktu itu jam 5 pagi,” katanya. “Mereka meluncurkan rudal dan rumah saya hancur lebur. Empat anak saya tewas dan saya terluka parah. Suami saya dan salah satu putri kami berhasil selamat.” Alia bersumpah tidak akan pernah kembali ke Aleppo, kota di utara Suriah tempat ia dulu tinggal. Dia ingin seluruh dunia tahu tentang serangan udara yang telah mengancurkan keluarganya, namun menolak untuk difoto dan takut identitasnya akan terbongkar.

Kisah-kisah seperti ini sudah sangat umum terdengar di rumah sakit yang dikelola Médecins Sans Frontières/Dokter Lintas Batas (MSF) di sebuah kawasan yang dikuasai pihak oposisi di Provinsi Aleppo.  Di bangsal-bangsal RS, warga sipil yang terluka bisa jadi berbaring di sebelah para pejuang, menggambarkan kondisi yang terjadi di balik dinding rumah sakit, dimana semua orang dari semua kalangan menjadi korban perang.

Di seberang bangsal tempat Alia dirawat, seorang perempuan lanjut usia sedang dalam tahap penyembuhan pascaoperasi setelah ia ditembak di bagian perut ketika menyebrangi jalan. “Saat itu, saya sedang di kota Aleppo,” ujar Nora Aljassem. “Bentrokan pecah. Waktu itu saya sedang di jalan, dan saya tertembak.”

Sistem kesehatan di utara Suriah telah lumpuh sejak perang pecah, dan dari hari ke hari perawatan medis semakin sulit diperoleh. Ibu hamil yang sebelumnya bisa bersalin di RS sekarang melahirkan di rumah, dan akibat stres yang berkepanjangan di tengah situasi perang, bayi yang dilahirkan sering prematur. Warga yang menderita penyakit kronis seperti diabetes dan hipertensi boleh dikatakan tidak bisa mendapatkan perawatan dan obat-obatan yang mereka butuhkan. Mereka adalah ‘korban senyap’ dari konflik Suriah.  

Kata tayara (‘pesawat’ dalam bahasa Arab) merupakan kata yang sangat sering diucapkan oleh warga di kawasan dimana serangan udara dan baku tembak terjadi hampir setiap hari. Sekitar 4,25 juta warga Suriah telah mengungsi di wilayah negara tersebut sejak perang meletus lebih dari dua tahun lalu.

Di provinsi Aleppo, sepanjang perbatasan Turki, sebanyak 10.000 warga Suriah tinggal di kamp pengungsian sambil menunggu kesempatan untuk menyebarangi perbatasan menuju Turki. Di salah satu tenda, sekelompok warga Suriah duduk menikmati sup kacang lentil dan telur orek sembari membicarakan masa depan.

“Mungkin kita bisa pergi ke Turki dan beristirahat di sana,” ujar Mustafa sambil mencelupkan paprika hijau ke dalam garam. “Kondisi di sana tentu jauh lebih baik daripada di sini. Situasi di sini sangat memprihatinkan.” Dia menoleh ke tetangganya dan bertanya,” Bagaimana menurutmu, ibu?”

“Semoga Allah menurunkan hidayah-Nya,” jawab perempuan itu.

“Tapi tidakkah menurut Anda kondisi di Turki lebih baik daripada di sini?” Mustafa kembali bertanya.

“Tentu saja.”

Di sebelah mereka, Muhammad, hanya diam dan terus merokok. Dia datang ke kamp pengungsian, meningalkan kota Aleppo setelah sebuah serangan udara menghancurkan sekolah anak-anaknya dan rumah tetangganya. “Begitu saya keluar, debu beterbangan dimana-mana dan saya tidak bisa melihat apa-apa. Begitu debu itu hilang, kami berhasil menemukan mereka dan membawa mereka keluar (dari bangunan sekolah). Ia dengan geram menambahkan “Mereka menjadikan warga sipil sebagai target serangan. Mereka menyerang sekolah-sekolah, antrean jatah makanan, dan masjid.”

Muhammad bukanlah nama sebenarnya. Meski dia tidak keberatan difoto, namun ia tidak ingin namanya disebutkan. Ketakukan itu bukan karena perang, tapi karena kejadian 20 tahun yang lalu.  Ia mengakui bahwa sejak 1993 ia hidup dalam rasa takut. “Saat itu saya sedang mengobrol dengan beberapa teman – membahas tentang politik,” ujarnya.

“Komentar saya dalam percakapan tersebut kemudian dilaporkan dan saya dijebloskan ke penjara selama 11 tahun.” Dia akhirnya bebas pada tahun 2004. “Sebelas tahun,” Muhammad mengulang. “Sebelas tahun saya tidak bisa bertemu dengan keluarga karena tidak diizinkan oleh pemerintah. Dipenjara 11 tahun hanya karena berkomentar beberapa patah kata.”  

Agus Morales (@agusmoralespuga) adalah reporter Médecins Sans Frontières (MSF). Ia berupaya menceritakan kisah-kisah para pasien MSF dan warga yang terkena dampak krisis kemanusiaan. Saat ini ia bekerja sebagai penasihat komunikasi untuk situasi emergency dan pernah bekerja di Sudan Selatan dan Suriah. 

Berita terkait: Saat Ruang Kerja Dokter Hanya Sebuah Kontainer Besi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com