Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Ruang Kerja Dokter Hanya Sebuah Kontainer Besi

Kompas.com - 21/08/2013, 14:41 WIB

Oleh: Husni

Saya tidak menyangka hidup saya akan demikian dinamisnya. Baru beberapa bulan lalu, saya sedang menikmati segelas jus apel di salah satu restoran favorit saya di Makassar, Indonesia; dan sekarang di sinilah saya, di hamparan tanah luas yang gersang, di mana matahari bersinar dengan garang dan tak ada satu botol air pun yang cukup untuk menandaskan rasa haus.

Sejak 2011, Sudan Selatan memperoleh kemerdekaannya dari Sudan (Utara). Maka, Sungai Nil yang termahsyur, yang dikenal melintasi beberapa negara, kini menyematkan nama baru di perjalanannya yang panjang menyeberangi Benua Afrika. Negara paling muda di dunia, rumah baru saya: Sudan Selatan.

Sejarah Sudan Selatan penuh dengan perang saudara berkepanjangan melawan Sudan (Utara). Perang telah memakan korban lebih dari sejuta jiwa, memaksa puluhan ribu warga sipil mengungsi dan mencari tempat tinggal ke negara atau tempat-tempat lain. Di atas segalanya, krisis kesehatan melanda Sudan Selatan.

Pemberhentian pertama saya adalah Juba, ibu kota negara, tetapi hanya sementara. Tujuan saya terletak di ujung utara negara ini—di perbatasan Sudan Selatan dan Sudan. Sebelum perjalanan saya ke Sudan Selatan, saya diberi tahu tentang kondisi yang kurang aman di perbatasan. Dalam perjalanan, saya melihat tanah yang luas dan gersang, kemudian bertanya pada diri sendiri: siapa yang berani tinggal di tempat seperti itu?

Di Doro, saya menemukan jawabannya. Mereka adalah orang yang terpaksa meninggalkan kampung halamannya lalu menyeberangi perbatasan ke Sudan Selatan untuk melarikan diri dari serangan udara dan pertempuran bersenjata. Di sini, barisan kamp pengungsi telah membuat Doro bersalin rupa, dari lahan gersang tak bertuan menjadi sebuah kota pengungsi.

Memang, sebelum saya menginjakkan kaki di negeri ini, saya tidak pernah bermimpi atau membayangkan ada tempat-tempat yang sangat terpencil di dunia—tempat di mana hidup demikian sulitnya, dan hidup semata-mata hanya untuk bertahan hidup.

Di Doro, ada ribuan orang yang bergantung pada bantuan kemanusiaan dan terus menjalani hidup meski tanpa masa depan yang menjanjikan. Meski situasi pengungsi di Sudan Selatan tidak mendapat banyak perhatian, situasi kemanusiaan yang buruk terus mengemuka. Pada akhir tahun 2012, di wilayah Unity dan Upper Nile negara muda itu, ada sekitar 170.000 pengungsi Sudan yang hidup di kamp yang, sepanjang musim panas, merupakan hamparan berlumpur kehidupan yang pelik dan penuh penyakit.

Di Doro, waktu sulit untuk diikuti. Tugas saya sebagai dokter terbebas dari dikotomi siang dan malam, dan ini membuat saya tidak terpengaruh jalannya waktu. Pasien datang kapan saja, siang hingga malam, saat damai maupun ketika ada konflik, di musim kemarau maupun hujan dan oleh karenanya kami harus selalu siap dan waspada. Keselamatan pasien adalah prioritas utama kami ketimbang waktu untuk bersantai.

Sudah setahun saya bergelut dengan jas putih, simbol kebanggaan saya sebagai seorang dokter. Dan kini, saya hanya mengenakan kaus oblong putih atau rompi putih yang lekas menjadi kotor karena debu kuning kecoklatan. Ruangan tempat kerja saya hanyalah sebuah kontainer besi yang dikelilingi tenda plastik dengan kasur darurat yang terbuat dari kayu.

Setiap hari, klinik kecil ini dipenuhi pasien melebihi kapasitas klinik. Ketika pengungsi tiba di klinik ini, beberapa dari mereka terlalu lemah untuk berdiri setelah melalui perjalanan yang panjang dan sukar melintasi perbatasan. Anak-anak yang kurang gizi, lemah, dan lesu mengisi ruangan. Tangisan anak-anak yang lemah bergema siang dan malam di ruang darurat MSF. Sulit bagi saya setiap kali melihat mereka dehidrasi atau terkena demam yang seperti tidak mau pergi. Di tempat ini, senyum yang hangat dan ucapan terima kasih adalah imbalan tertinggi dari pasien.

Saya bukan saja harus menyesuaikan diri dengan kondisi hidup di sini, tetapi saya juga menghadapi tantangan dalam memberikan perhatian penuh yang dibutuhkan setiap pasien. Mungkin saya tidak bisa menyediakan layanan medis seperti yang saya dapatkan di kampung halaman saya. Namun, setidaknya, saya mencoba untuk membangkitkan rasa percaya diri mereka dan rasa dihargai sebagai sesama manusia. Bahwa kami ada di sini untuk menolong mereka.

Meski tidak pernah bermimpi untuk hidup di tempat terpencil seperti ini dan bekerja di kamp pengungsi, di sini saya belajar untuk lebih menghargai hidup, untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan, dan untuk bersyukur atas setiap kebahagiaan kecil dalam hidup yang kadang terlupakan. Sungguh menakjubkan bisa mendapat kesempatan melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda dan mendapat kesempatan bertemu orang-orang yang meninggalkan kesan mendalam dan menginspirasi hidup kita. Ini semua mengingatkan saya bahwa kita, manusia, diciptakan untuk saling berbagi dan menolong satu sama lain, bukan hanya diam dan berpuas diri dengan status quo. Ketika banyak orang membutuhkan bantuan, rasanya kita tidak bisa menjalani hidup seolah-olah semuanya baik-baik saja. Lebih baik ambil bagian dan ikut membantu sejauh kita mampu.

Dr Husni, saat ini bekerja untuk Dokter Lintas Batas (Médecins Sans Frontières/MSF) di Sudan Selatan. Catatannya selama menjadi relawan kemanusiaan akan ditayangkan secara berkala di Kompas.com.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com