Dukungan itu diberikan karena negara-negara Arab khawatir menguatnya pengaruh Ikhwanul Muslimin di kawasan itu sejak gerakan "Arab Spring" akan mengancam kekuasaan mereka.
Sejauh ini, hanya Qatar dan Tunisia, di mana Partai Ennahda yang berkuasa berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin, mengecam kekerasan Kairo yang menewaskan lebih dari 600 orang itu.
"Semua kerajaan di kawasan Teluk, kecuali Qatar, khawatir revolusi Ikhwanul Muslimin akan ditularkan ke negara lain," kata Khattar Abou Diab, profesor dari Universitas Paris-Sud.
Dengan demikian, lanjut Abou Diab, para pemimpin negara-negara Arab berharap kembalinya situasi klasik kekuasaan di Mesir, sebuah negara penting di dunia Arab.
"Negara-negara ini, terutama Arab Saudi, sudah merasa terganggu dengan semakin kuatnya Turki dan Iran. Dukungan Arab Saudi kepada Mesir menunjukkan keinginan untuk kembali ke sebuah sistem tradisional Arab yang berbasis pada garis yang lebih klasik," tambah Abou Diab.
Turki, dengan pemerintah berhaluan Islam yang secara ideologi terkait dengan Ikhwanul Muslimin, mulai meningkatkan pengaruhnya di dunai Arab sejak pecahnya revolusi Arab Spring.
Sementara Iran memperkuat hubungannya dengan Presiden Suriah Bashar al-Assad dan memperkukuh hubungannya dengan Ikhwanul Muslimin Mesir.
"Apa yang terjadi di Mesir adalah produk sebuah isu regional besar, semacam perang dingin Arab, dan sudah jelas pihak mana yang akan menjadi pemenang," kata Shadi Hamid, pakar politik Timur Tengah dari Brookings Doha Centre.
Bagi Riyadh dan Abu Dhabi, lanjut Hamid, kudeta terhadap Muhammad Mursi menjadi pukulan keras bagi rival regional kedua negara itu, Ikhwanul Muslimin.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.