Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menelusuri Jejak Orang China di Pedalaman Australia

Kompas.com - 14/06/2013, 02:43 WIB

Garry Shuey menimbang buah ”chestnut” di tokonya dan memasukkan bebijian berwarna coklat itu ke kantong plastik.

”Sepuluh dollar dua kilo,” kata Shuey kepada pembelinya. Shuey mempunyai 1.500 pohon chestnut. Tanah luas terhampar di sekitar toko Shuey yang lebih mirip hanggar mini pesawat terbang di tengah ladang yang luas.

Udara segar berembus lembut di antara pepohonan. Kicau burung menyambut matahari pagi. Suasana pedesaan sangat terasa. ”Ladang ini termasuk kecil. Ladang yang besar bisa memiliki lebih dari 15.000 pohon,” kata Shuey.

Menilik tinggi, bahasa badan, dan penampilannya, sulit membedakan Shuey dengan penduduk kulit putih lainnya. Oleh karena itu, kalimat berikutnya terasa mengejutkan.

”Saya keturunan China generasi keempat,” kata petani asal Desa Bright, sebuah desa di pedalaman Australia, sekitar 350 kilometer di utara Melbourne.

”Dulu banyak orang China tinggal di sini, tetapi hampir semua pulang setelah perburuan emas selesai,” kata Shuey merujuk desanya pada pertengahan abad ke-19. ”Sekarang hanya tersisa empat keluarga,” katanya.

Perburuan emas di Bright berlangsung dari tahun 1850 sampai 1870 dan ketika itu ada 1.000 orang China di desa ini. Walau sebagian besar kemudian pulang ke China, sebagian kecil menetap dan menikah dengan penduduk setempat.

Ketika ditanya mengapa dia tetap tinggal di Bright, Shuey tampak berpikir keras sebelum akhirnya menjawab, ”Saya tidak tahu.”

Yang jelas, alam pedesaan Bright di Lembah Ovens yang indah, hijau, dan sunyi ini sudah menjadi bagian dari dirinya. ”Kalau saya ke Melbourne untuk urusan dagang, saya ingin cepat pulang,” katanya, ”terlalu banyak orang di sana.”

Di Desa Bright tidak dijumpai banyak orang, sekalipun di kawasan ”pusat kota”-nya, kecuali bila ada festival atau pawai yang diadakan pada musim gugur dan musim semi yang dimulai pada bulan Maret dan September.

Desa berpenduduk sekitar 2.000 orang ini hidup terutama dari pariwisata. Akrab disebut kawasan Victorian Alps, Bright yang terletak di timur laut Negara Bagian Victoria ini menyuguhkan aneka ragam rekreasi, dari ski sampai terbang layang.

Pada tahun 1858, koran lokal Advertiser melaporkan bahwa orang China di sana harus mengangkut peralatan tambang mereka sejauh 32 kilometer ke tempat penggalian emas. Kerja keras merupakan bagian dari kehidupan mereka, selain menjadi korban rasa curiga, rasa kesepian, dan kerasnya penghidupan. Beberapa kasus kriminal, seperti pencurian dan pembunuhan, terkait dengan orang China.

Koran Advertiser mencatat, seorang bernama Ah Sing mencoba untuk bunuh diri pada tahun 1870. Pada tahun 1890, seorang China lainnya mati karena kelaparan.

Kuburan China, yang menjadi bagian dari pemakaman umum di Bright, menjadi saksi masa lalu. ”Kakek buyut saya, William, dimakamkan di situ,” kata Shuey.

Menurut buku berjudul Bright Gold, seorang bernama Ah Suey yang kemudian dikenal sebagai William Shuey datang ke Bright pada tahun 1856. Ia menikah dengan Agnes Towers pada tahun 1873. William lahir di Kanton (sekarang Guangzhou) pada tahun 1830 dan Towers lahir di Inggris pada tahun 1852. Mereka dikaruniai enam anak.

Buku yang ditulis oleh Brian Lloyd dan Kathy Nunn tersebut juga menyebutkan bahwa keturunan keluarga Shuey masih tinggal di Bright, termasuk Garry Shuey.

Kuli kontrak

Tujuan utama orang-orang China datang ke Bright adalah untuk bekerja di pertambangan emas. Mereka tinggal berkelompok di tenda- tenda di pinggir sungai tempat penggalian emas.

Selain Bright yang terletak di Victoria, orang-orang China juga menambang emas di pedalaman negara bagian lain Australia, seperti Queensland, New South Wales, dan Western Australia.

Pada tahun 1850-an, orang-orang dari ”Benua Kanguru” sudah berdagang teh sampai ke Kanton, menurut sejarawan Geoffrey Blainey dalam bukunya The Blainey View.

Terkesan melihat orang China yang pekerja keras, mereka mengontrak orang-orang China selama lima tahun untuk dipekerjakan sebagai penambang emas, penggembala domba, dan tukang, tulis Blainey.

”Benua Kanguru”, yang sebelumnya terdiri atas koloni-koloni Inggris yang masing-masing berdiri sendiri, resmi bersatu menjadi negara federal Australia pada tahun 1901. ”Orang China adalah bagian integral dari komunitas kami,” tutur Peter Hopper yang ditemui di museum kereta api di Bright.

”Mereka adalah pekerja yang ulet,” kata Cathie Hewett, rekan Hopper, ”merekalah yang membangun jalan-jalan ke kawasan pertambangan emas.”

Hopper dan Hewett adalah anggota Bright and District Historical Society, sebuah organisasi pencinta sejarah. ”Walaupun sebagian besar di antara mereka telah pergi, mereka meninggalkan warisan beragam keahlian, seperti tanam-menanam,” kata Hewett.

Pada bulan Juni 2007, organisasi ini merayakan 150 tahun keberadaan orang China di Australia. ”Ada pawai, tarian naga, dan barongsai,” kata Hopper. ”Orang-orang China dari seluruh penjuru Australia datang kemari.”

Di antara orang keturunan China yang tersisa di Bright terdapat nama-nama keluarga, seperti Panlook dan Monshing. ”Monshing bahkan menjadi nama sebuah jalan,” tutur Hopper.

Pada tahun 1865, sebanyak 73 persen penduduk Bright adalah orang China. Mereka memiliki fisik yang kuat. Menurut buku Bright Gold’, banyak di antaranya yang menjadi petani sayur-mayur.

Karena banyaknya orang China, orang kulit putih terkadang merasa terancam. Koran-koran lokal sering memuat berita seputar hal ini, tulis Blainey di buku tersebut.

Seperti di Indonesia

Djin Siauw, seorang tokoh masyarakat Indonesia di Melbourne, mencoba membandingkan komunitas China di Australia dan Indonesia. ”Australia termasuk negara yang relatif muda bagi pendatang dari China dibandingkan dengan Indonesia,” kata Siauw. ”Mereka belum mempunyai adat-istiadat sendiri seperti halnya di Indonesia.”

Orang China datang ke Indonesia sejak abad ke-15, bahkan sudah ada yang berdagang di Nusantara sejak abad ke-7, kata Siauw yang ditemui di Melbourne, beberapa waktu lalu.

Di desa tetangga Bright yang bernama Wandiligong (kata Aborigin yang berarti makhluk halus) terdapat sebuah jembatan peninggalan China. Di jembatan itu tertulis catatan tentang orang China yang tinggal di situ tahun 1860-an. Disebutkan, mereka datang dari Provinsi Kwantung di China.

Begitu sampai di Australia, mereka berjalan kaki sejauh 600 kilometer dari pelabuhan pendaratan di Australia selatan ke daerah penambangan emas di Victoria. Mereka sengaja tidak berlabuh di Victoria untuk menghindari pajak sebesar 10 poundsterling, suatu jumlah yang tidak sedikit ketika itu.

Hal-hal yang mendorong mereka datang ke Australia adalah untuk bangkit dari kemiskinan dan menghindar dari pemberontakan Taiping yang berlangsung di China tahun 1850-1864.

Sebuah sajak David Martin tentang orang-orang China yang telah meninggalkan tempat itu terpampang di jembatan tersebut.

”Tak terdengar kata tentang apa yang mereka alami

Tetapi sungai, air hujan, angin dan bebatuan

Teringat akan penggembala yang tak mempunyai domba

Kepiawian mereka boleh redup tetapi gunung-gunung menyimpan

Nama gelanggang di mana sang naga kini tertidur”

(Harry Bhaskara Koresponden Kompas di Brisbane, Australia)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com