Keengganan itu muncul karena selama dua dekade terakhir, ASEAN kerap bersikap keras terhadap Myanmar. Seperti negara-negara lain di dunia, ASEAN sering mengkritik keras Myanmar ketika negeri itu belum mereformasi diri dan berada di bawah junta militer.
Padahal, ASEAN, terutama Indonesia, punya banyak pengalaman yang bisa dibagi dengan Myanmar, termasuk dalam hal penanganan kerusuhan sektarian ataupun komunal, seperti yang pernah terjadi di Poso, Ambon, dan Aceh.
Penilaian itu disampaikan Direktur Kawasan Asia Center for Humanitarian Dialogue, Michael Vatikiotis, Jumat (31/5), saat berbicara di diskusi bertema ”Perdamaian dan Konflik di Kawasan Asia Pasifik: Tren dan Upaya Mitigasi” di Jakarta.
”Dalam perspektif Myanmar, ASEAN dalam dua dekade terakhir selalu mengkritisi mereka walau sekarang mereka dilibatkan dan bakal menjadi ketua ASEAN. Namun, hal itu telanjur membuat kondisi jadi sulit,” ujar Vatikiotis.
Kesan seperti itu, menurut Vatikiotis, sangat tampak ketika ia dan organisasinya mendatangkan sejumlah perwakilan dari Indonesia dan Filipina ke Myanmar untuk berbagi pengalaman menangani konflik di negara masing-masing.
”Hal paling relevan untuk dibagi adalah pengalaman Indonesia menyelesaikan persoalan sejenis, baik komunal maupun sektarian, dengan menggunakan dialog,” ujar Vatikiotis.
Ia menilai peran Indonesia akan lebih mendukung jika pendekatan dilakukan kalangan masyarakat sipil, seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, atau dari kalangan agama Kristen, selain pendekatan antarpemerintah.
”Mereka bisa belajar, misalnya, bagaimana dahulu Indonesia menangani konflik di Poso, termasuk dengan Perjanjian Malino, atau dalam konflik Ambon. Berbagi pengalaman jauh lebih efektif dan Myanmar bisa melihat sendiri kesamaan mereka dengan Indonesia, sama-sama negara plural,” kata Vatikiotis.