Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rokok, Iklan, dan Cecaran Realitas Semu

Kompas.com - 29/05/2013, 03:27 WIB

IRWAN JULIANTO

Allan M Brandt masih berusia tujuh tahun pada tahun 1961 ketika ayah dan ibunya pertama kali mengajaknya ke New York City. Sebagai anak kecil, ia terkagum-kagum menyaksikan baliho raksasa Camel Man, ikon rokok Camel, bertengger di atas Times Square sambil tak henti mengepulkan cincin-cincin asap.

Baliho Camel itu mengukuhkan kedigdayaan rokok pada pertengahan abad ke-20, juga keberhasilan pemasaran dan bisnis Amerika Serikat modern. Tak pelak lagi jika rokok menjadi simbol sentral untuk daya pikat, kecantikan, dan kekuasaan. Namun, itu baru separuh cerita.

Ketika rokok mulai diberitakan sebagai produk yang membahayakan kesehatan, jumlah perokok di AS pun terus menurun. Camel kemudian mengalihkan rayuannya dari perokok dewasa ke perokok remaja dengan ikon Joe Camel. Akhirnya, karena tekanan para aktivis dan litigasi di pengadilan AS, semua baliho rokok, termasuk baliho Joe Camel, sejak tahun 1999 dan seterusnya dilarang sebagai iklan atau media luar ruang. Iklan rokok di semua stasiun TV AS sudah dilarang penayangannya sejak 1 Januari 1971.

Rokok memang menduduki posisi ikonik dalam budaya konsumen Amerika sehingga menarik untuk dikaji kesejarahannya. Mulai dari masa kejayaannya hingga ke masa surutnya sebagai sunset industry. Itulah yang dilakukan Allan M Brandt, Guru Besar Sejarah Kedokteran dan Dekan Fakultas Pascasarjana Seni dan Sains Universitas Harvard. Ia menulis buku The Cigarette Century: The Rise, Fall, and Deadly Persistence of the Product that Defined America tahun 2007, yang sempat menjadi finalis Pulitzer Prize.

”Sungguh mencengangkan, betapa suatu produk yang memiliki kegunaan begitu terbatas, tidak awet, dapat menjadi sarana yang amat informatif untuk memahami masa lalu. Rokok secara fundamental menunjukkan adanya interplay historis antara budaya, biologi, dan penyakit. Kejayaan rokok dipertahankan tak hanya oleh kesepakatan dan psikologi pribadi, tetapi juga oleh kandungan adiktif yang kuat berupa nikotin di dalam tembakau. Camel Man adalah contoh perokok berat yang ngepul terus,” tulis Brandt.

Di dalam bukunya yang setebal 600 halaman itu, Brandt menguraikan bagaimana tujuh CEO industri rokok besar AS melakukan kebohongan publik pada rapat dengar pendapat Kongres bahwa nikotin tidak adiktif dan asap rokok perokok aktif tidak membahayakan perokok pasif. Karena aturan yang makin ketat, industri rokok AS ramai-ramai menyerbu negara-negara lain yang penegakan hukumnya lemah, termasuk Indonesia. Philip Morris, misalnya, pada tahun 2005 membeli Sampoerna.

Akibatnya, Indonesia pun menjadi medan pertempuran industri rokok multinasional melawan industri rokok nasional. Jika di AS iklan rokok dilarang di berbagai media, Indonesia justru menjadi surga kebebasan beriklan bagi industri rokok. Baliho dan layar iklan raksasa rokok bertebaran di mana-mana, bahkan tidak sedikit yang bertengger di atas pos polisi.

Stimulus ”subliminal”

Selain memasarkan Sampoerna yang merupakan brand kuat, Philip Morris juga tetap menggencarkan iklan untuk rokok putih andalannya, Marlboro. Lihat saja baliho Marl- boro yang memainkan kata-kata ”Don’t Say Maybe, Be Marlboro”. Bandingkan dengan baliho iklan LA Light produksi PR Djarum yang dipasang di pintu Tol Rawamangun, misalnya, yang bertuliskan ”Don’t Quit” dengan memberi warna merah pada huruf-huruf ”Do...it”. Sungguh kreatif.

Harus diakui, industri rokok di mana saja, baik di AS dengan ikon Camel Man dan Joe Camel serta si koboi macho Marlboro Man, maupun di Indonesia, mampu membiayai iklan-iklan yang superkreatif dan amat melekat di ingatan. Selain amat kreatif memainkan kata-kata (language game) ala Wittgenstein, para perancang iklan dan promosi rokok juga piawai memainkan kesadaran palsu (yang dibahas Habermas) dan realitas semu atau simulakra (yang dibedah oleh Baudrillard).

Dengan perkembangan teknologi, kini iklan di media luar ruang yang banyak menggunakan layar TV plasma raksasa makin memapar khalayak dengan stimulus subliminal, yaitu rangsangan sensorik yang berada di bawah ambang persepsi kesadaran. Baliho iklan Camel Man dan Joe Camel yang dituturkan Brandt tadi sebenarnya sudah memakai pendekatan ini.

Kajian SJ Brooks dan kawan-kawan yang dimuat di jurnal Neuroimage Volume 59 (Februari 2012) yang menelaah kajian functional Magnetic Resonance Imaging menunjukkan bahwa stimulus sunbliminal mengaktivasi daerah-daerah spesifik di otak di luar kesadaran orang yang diteliti. Stimulus visual berkejap dengan cepat sebelum seseorang dapat memprosesnya.

Cecaran iklan, promosi, dan sponsorship rokok tanpa disadari telah memersuasi masyarakat khalayak sehingga muncul kesadaran palsu ataupun simulakra bahwa rokok adalah produk legal yang tidak perlu diatur-atur. Kondisi inilah yang terjadi di Indonesia, hanya penundaan beberapa dekade terhadap apa yang terjadi di AS.

Rokok pun, utamanya rokok kretek, dikonstruksikan sebagai warisan budaya bangsa yang harus dilestarikan dan dilindungi pemerintah, serta dibela para perokoknya. Lihat saja iklan dan baliho salah satu merek rokok yang mendaku rokok kretek sebagai mahakarya bangsa Indonesia yang ingin disejajarkan dengan wayang, keris, batik, dan Candi Borobudur. Propaganda yang menafikan akal sehat, tetapi tidak sedikit pendukungnya. Sampai-sampai jaringan aktivis di Kota Yogyakarta yang menginginkan kotanya bebas dari habitus merokok sembarang kini malah disomasi.

Itulah ironi dan tragedi ketika Indonesia pada 31 Mei lusa akan ikut memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang bertema ”Lindungi Generasi Bangsa dari Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok”.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com