Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RI Didesak Lebih Tegas

Kompas.com - 29/05/2013, 02:28 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah Indonesia diminta lebih tegas bersuara menyikapi berbagai bentuk kebijakan diskriminatif di negara-negara Asia Tenggara, khususnya Myanmar. Hal itu diyakini bisa dilakukan tanpa perlu khawatir akan mengintervensi urusan dalam negeri negara lain.

Demikian ditegaskan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Bahtiar Effendy, di Jakarta, Selasa (28/5).

Menurut Bahtiar, yang meraih gelar master di bidang studi Asia Tenggara, hal itu bisa dilakukan jika Indonesia berpegang pada konstitusinya. Ia mengatakan, banyak nilai yang bersifat universal dalam konstitusi Indonesia, seperti soal kemerdekaan yang jelas-jelas disebut sebagai hak semua bangsa.

”Dari sana kita bisa memulai,” ujar Bahtiar seusai membuka diskusi ”15 Tahun Reformasi: Peningkatan Perlindungan Buruh Migran di Era Global”.

Bahtiar mengakui, selama ini baik Pemerintah Indonesia maupun para individual, memang telah mengupayakan banyak hal untuk membantu menyelesaikan persoalan di Myanmar.

Namun, ia juga menilai berbagai bantuan, terutama yang dilakukan Kementerian Luar Negeri, belum bisa dibilang sungguh-sungguh.

”Masalah seperti isu Rohingya itu kan ada di depan mata kita sendiri. Buat apa (cuma) ribut- ribut, misalnya, soal Timur Tengah, sementara yang di dekat kita sendiri juga ada (persoalan),” kata Bahtiar.

Kebijakan batasi anak

Sementara itu, rencana Pemerintah Negara Bagian Rakhine di Myanmar menerapkan pembatasan jumlah anak bagi warga etnis minoritas Rohingya menuai kecaman dari berbagai pihak.

Tokoh oposisi Myanmar, Aung San Suu Kyi, yang selama ini tak berkomentar banyak dalam isu Rohingya, menilai kebijakan itu diskriminatif.

”Jika itu benar, aturan itu melanggar hukum, diskriminatif, dan melanggar hak asasi manusia,” ujar Suu Kyi, yang mengaku belum tahu detail isi aturan baru itu.

Pekan lalu, Pemerintah Rakhine membenarkan adanya aturan baru yang akan diterapkan terhadap warga etnis Rohingya di dua wilayah kota praja (township) di negara bagian itu, yakni Buthidaung dan Maungdaw.

Menteri Urusan Nasional Myanmar untuk Kawasan Yangon Zaw Aye Maung, Senin, menyebut kebijakan itu cara terbaik untuk mengontrol ledakan penduduk, yang ”berpotensi menghilangkan identitas nasional Myanmar”.

Zaw, yang berasal dari etnis Rakhine, menambahkan, membatasi jumlah anak di kelompok warga Rohingya yang miskin justru menguntungkan karena dengan keluarga kecil, anak-anak akan lebih mudah diberi makanan, pakaian, dan pendidikan.

Sementara Ketua Dewan Urusan Agama Islam Myanmar Nyunt Maung Shein menegaskan, aturan pembatasan jumlah anak itu melanggar hak asasi manusia (HAM). ”Meski aturan itu ada di bawah rezim militer dulu, itu harus dinyatakan tidak pantas di bawah sebuah sistem demokrasi,” ujar Nyunt.

Jika jadi diberlakukan, Myanmar akan menjadi satu-satunya negara di dunia yang menerapkan aturan diskriminatif seperti itu. Organisasi HAM, Human Rights Watch, menyebut rencana aturan baru itu ”keterlaluan”.(AP/DWA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com