Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pro-Kontra Kebijakan Pembatasan Anak di Myanmar

Kompas.com - 28/05/2013, 07:18 WIB
Wisnu Dewabrata

Penulis

YANGON, KOMPAS.com- Kebijakan pembatasan dua anak untuk warga etnis minoritas muslim di negara bagian Rakhine memicu pro dan kontra di negeri yang baru memulai langkah reformasi, Myanmar.

Menteri Urusan Nasional Myanmar untuk Kawasan Yangon Zaw Aye Maung, Senin (27/5/2013), menyebut kebijakan itu sebagai cara terbaik untuk mengontrol terjadinya ledakan penduduk, yang berpotensi menghilangkan identitas nasional Myanmar.

"Membatasi jumlah anak di komunitas muslim yang miskin justru akan menguntungkan mereka lantaran keluarga kecil lebih mudah untuk memberi makan, pakaian, dan pendidikan anak-anak mereka sendiri," ujar Zaw.

Dukungan juga disuarakan salah seorang pemuka agama Buddha di kotapraja (township) Maungdaw, salah satu dari dua kotapraja di negara bagian Rakhine selain Buthidaung di dekat perbatasan Bangladesh, yang akan menjadi wilayah utama pemberlakuan kebijakan tadi.

"Tentunya itu ide yang bagus. Jika pemerintah benar-benar bisa mengontrol populasi warga Bengali di dua wilayah itu, tentunya masyarakat di wilayah lain akan merasa lebih aman dan akan lebih sedikit kekerasan terjadi seperti di masa lalu," ujar pendeta Manithara dari biara Aungmyay Bawdi.

Istilah "Bengali" biasa dipakai warga Myanmar untuk menyebut etnis minoritas muslim "Rohingya" di sana.

Selama ini pemerintah Mynamar memang tidak pernah mengakui keberadaan etnis Rohingya.

Mereka mengecualikan etnis Rohingya dari 135 etnis yang diakui resmi berdasarkan konstitusi.

Pemerintah Myanmar menganggap warga Rohingya sebagai imigran gelap asal Banglades dan menolak mengakui kewarganegaraan.

Sementara Banglades sendiri menyebut warga Rohingya sudah ratusan tahun hidup dan beranak pinak di Myanmar.

Mereka dibawa ke Myanmar di masa pemerintahan kolonial Inggris. Oleh karena itu pemerintah Banglades menuntut mereka diakui oleh Myanmar sebagai warga negara.

Lebih lanjut sikap menentang disuarakan Nyunt Maung Shein, ketua Dewan Urusan Agama Islam Myanmar.

Menurutnya, aturan yang sudah ada sejak rezim junta militer di Myanmar itu sangat lah tidak pantas lagi untuk dipertahankan apalagi terus diberlakukan ketika negeri itu mengklaim tengah menuju sistem demokrasi.

"Pemerintah harus sangat hati-hati. Jika mereka bermaksud menurunkan ketegangan dengan membuat aturan seperti ini, saya melihat hal sebaliknya justru yang akan terjadi," ujar Nyunt.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com