Juru Bicara Kepolisian Stockholm Kjell Lindgren, Sabtu (25/5), mengatakan, kerusuhan sedahsyat ini tidak pernah dialami kota itu sebelumnya.
Perusuh tidak hanya membakar mobil, tetapi juga merusak serta membakar gedung sekolah, toko obat, kantor polisi, bank, dan perpustakaan. Mereka
Pada Jumat pagi, pihak berwenang Swedia mengerahkan bantuan polisi anti-huru-hara dari Gothenburg dan Malmo, dua kota yang berpengalaman mengatasi kerusuhan.
Petugas keamanan, dibantu kelompok orang tua dan pemimpin komunitas, turun ke jalanan
Serangan perusuh yang membabi buta ini sejak Jumat terus meluas hingga ke kota-kota satelit di sekitar Stockholm, yakni Oerebro, Linkoeping, Uppsala, dan Husby.
Di Oerebro, sekitar 160 kilometer sebelah barat Stockholm, sebuah sekolah dan beberapa mobil dibakar. Seorang polisi terluka karena lemparan batu dan sebuah kantor polisi dirusak.
Kerusuhan juga terjadi di Linkoeping, 235 kilometer barat daya Stockholm. Sebuah taman kanak-kanak dan sekolah dasar dibakar. Sementara di Uppsala, 70 kilometer sebelah utara Stockholm, satu sekolah dan mobil dibakar, berikut sebuah toko obat yang dirusak.
Pihak berwenang belum mengungkapkan penyebab pasti kerusuhan yang meluas di Swedia itu. Namun, Lindgren menyatakan, sejumlah orang memanfaatkan insiden penembakan di Husby untuk memanaskan suasana. ”Para perusuh ini terdiri atas berbagai macam (jenis) orang,” ungkapnya.
Kerusuhan yang meluas dalam sepekan terakhir itu diduga disulut peristiwa penembakan terhadap seorang imigran di Husby. Lelaki yang diketahui berusia 69 tahun itu ditembak polisi karena membawa senjata tajam di tempat umum.
Aktivis setempat menyebutkan, penembakan itu memicu
”Kami membakar mobil-mobil dan melempari polisi. Namun, itu hal bagus sebab dengan begitu orang tahu bagaimana kondisi Husby sebenarnya. Hanya dengan cara ini kami akan didengar,” tutur pemuda perusuh yang menggunakan nama samaran Kim. Umumnya, pelaku kerusuhan itu berusia 12-17 tahun dan berkelompok 5 sampai 100 orang.
Rami al-Khamisi, mahasiswa jurusan hukum dan pendiri Organisasi Pemuda Megafonen, mengaku kepada sebuah surat kabar lokal Swedia bahwa dirinya mengalami pelecehan rasial dari seorang polisi, pekan lalu. Para pemuda yang tergabung dalam kelompoknya dipanggil dengan sebutan ”monyet”. Hal itu makin membakar kebencian pemuda imigran.
Menanggapi ini, Menteri Keadilan Swedia Beatrice Ask meminta siapa pun yang merasa diperlakukan tidak semestinya oleh polisi untuk membuat laporan resmi.
Tidak hanya di Husby,
Pada 2012, Swedia menerima 44.000 pencari suaka. Angka itu lebih tinggi 50 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Para pencari suaka itu umumnya berasal dari negara-negara yang dilanda perang, seperti Irak, Somalia, bekas Yugoslavia, Afganistan, dan Iran.
Sekalipun para imigran mudah memasuki Swedia, mereka kesulitan memahami bahasa Swedia dan sulit memperoleh pekerjaan akibat pendidikan yang rendah. Akibatnya, terjadi kesenjangan kualitas kehidupan antara imigran dan penduduk asli Swedia.
”Pemerintah mungkin perlu menginvestasikan anggaran yang besar bagi generasi kedua dan ketiga dari para imigran ini sehingga mereka bisa belajar bahasa Swedia. Para orangtua mereka, sayangnya, tergolong generasi yang gagal dalam proses integrasi,” papar Aje Carlbom, ahli Antropologi Sosial di Universitas Malmo.
Gulvan Avci, anggota parlemen yang mewakili wilayah
”Hal ini banyak terjadi di wilayah dengan tingkat pengangguran dan tingkat kegagalan sekolah yang tinggi,” ujar Avci yang keturunan imigran Kurdi.
Kerusuhan besar di Stockholm memicu kembali debat tentang imigran. Namun, banyak kalangan berpendapat pemicu utamanya adalah kesenjangan sosial dan ekonomi yang semakin besar.
Data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi menunjukkan, kesenjangan
Kaum imigran umumnya menghuni wilayah-wilayah yang relatif kurang makmur dibandingkan dengan kota besar, seperti Stockholm, Gothenburg, dan Malmo. Salah satu kantong imigran, Husby, tempat kerusuhan besar terpicu, adalah salah satu wilayah yang kurang makmur.
Kerusuhan akibat problem imigrasi di Swedia bukan kali pertama ini terjadi. Pada pertengahan Desember 2008, kerusuhan terjadi di kota Gothenburg dan Malmo.
Sekitar 100 pemuda mengamuk dengan membakar mobil, tempat sampah, dan melempari polisi dengan batu di kedua kota tersebut. Kerusuhan dipicu kemarahan pemuda setelah sebuah pusat kebudayaan Islam di kota Malmo ditutup pada 24 November 2008. Gedung itu juga dimanfaatkan sebagai masjid selama 15 tahun.
Pemilik gedung yang disewa oleh Asosiasi Kebudayaan Islam itu menghendaki gedung tersebut tidak lagi dipakai sebagai tempat kegiatan mereka sehingga perpanjangan sewa tidak dikabulkan.
Kerusuhan timbul setelah
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.