Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kerusuhan Guncang Stockholm

Kompas.com - 26/05/2013, 02:41 WIB

Aktivis setempat menyebutkan, penembakan itu memicu kemarahan anak-anak muda di kota yang didominasi oleh 80 persen imigran itu. Penduduk Husby yang kini mencapai 11.000 orang umumnya adalah keturunan kedua atau ketiga dari imigran yang datang dari Timur Tengah, Somalia, dan Turki.

”Kami membakar mobil-mobil dan melempari polisi. Namun, itu hal bagus sebab dengan begitu orang tahu bagaimana kondisi Husby sebenarnya. Hanya dengan cara ini kami akan didengar,” tutur pemuda perusuh yang menggunakan nama samaran Kim. Umumnya, pelaku kerusuhan itu berusia 12-17 tahun dan berkelompok 5 sampai 100 orang.

Rami al-Khamisi, mahasiswa jurusan hukum dan pendiri Organisasi Pemuda Megafonen, mengaku kepada sebuah surat kabar lokal Swedia bahwa dirinya mengalami pelecehan rasial dari seorang polisi, pekan lalu. Para pemuda yang tergabung dalam kelompoknya dipanggil dengan sebutan ”monyet”. Hal itu makin membakar kebencian pemuda imigran.

Menanggapi ini, Menteri Keadilan Swedia Beatrice Ask meminta siapa pun yang merasa diperlakukan tidak semestinya oleh polisi untuk membuat laporan resmi.

Problem Imigrasi

Tidak hanya di Husby, kota-kota satelit di sekitar Stockholm memang didominasi oleh imigran yang kedatangannya dimudahkan dengan kebijakan imigrasi Swedia yang lentur. Swedia dikenal sebagai salah satu negara di dunia yang sangat terbuka menerima imigran.

Pada 2012, Swedia menerima 44.000 pencari suaka. Angka itu lebih tinggi 50 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Para pencari suaka itu umumnya berasal dari negara-negara yang dilanda perang, seperti Irak, Somalia, bekas Yugoslavia, Afganistan, dan Iran.

Gagal berintegrasi

Sekalipun para imigran mudah memasuki Swedia, mereka kesulitan memahami bahasa Swedia dan sulit memperoleh pekerjaan akibat pendidikan yang rendah. Akibatnya, terjadi kesenjangan kualitas kehidupan antara imigran dan penduduk asli Swedia.

”Pemerintah mungkin perlu menginvestasikan anggaran yang besar bagi generasi kedua dan ketiga dari para imigran ini sehingga mereka bisa belajar bahasa Swedia. Para orangtua mereka, sayangnya, tergolong generasi yang gagal dalam proses integrasi,” papar Aje Carlbom, ahli Antropologi Sosial di Universitas Malmo.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com