Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komnas HAM: Basuki Ngawur Sebut "Sponsor" Telanjang Dada

Kompas.com - 16/05/2013, 16:02 WIB
Alfiyyatur Rohmah

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Menanggapi tudingan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tentang adanya "sponsor" terhadap aksi telanjang dada di Waduk Pluit, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menganggap Basuki berbicara ngawur. Komnas HAM menilai, sebagai pemimpin Jakarta, Basuki tidak boleh berbicara sesuatu yang bisa menyakiti hati rakyat.

Pada Minggu (12/5/2013) lalu, warga melakukan aksi sweeping alat berat di bantaran Waduk Pluit. Mereka khawatir alat berat tersebut digunakan membongkar rumah warga. Saat aksi itu digelar, tiba-tiba seorang wanita nekat membuka bajunya hingga bertelanjang dada. Dia menolak rencana penggusuran permukiman penduduk di bantaran waduk tanpa ada sosialisasi.

Menanggapi hal tersebut, Basuki menuding bahwa aksi wanita itu dilatarbelakangi oleh pihak-pihak tertentu. Menurut dia, ada pihak yang sengaja menjadi "sponsor" agar wanita itu melakukan aksi tersebut.

"Itu tuduhan yang ngawur, makanya harusnya dia turun ke lapangan," kata anggota Komnas HAM, Siane Indriyani, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (16/5/2013).

Siane mengatakan, sebagai pemimpin, Basuki jangan selalu menuduh rakyat dengan ucapan yang tidak baik. Hal tersebut sangat menyakiti hati rakyat. Siane mengatakan, warga Waduk Pluit hanya menanyakan nasib dan kejelasan tempat tinggal mereka jika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggusur hunian mereka. Kegelisahan itu muncul karena warga menyatakan bahwa mereka adalah warga resmi Jakarta dan memiliki KTP, kartu keluarga, serta membayar Pajak Bumi dan Bangunan.

Terkait tudingan bahwa banyak warga Waduk Pluit yang memiliki rumah kontrakan, Siane mengatakan, tidak semua warga memiliki banyak kontrakan. Warga yang memiliki kontrakan tersebut hanya segelintir orang sehingga Basuki tidak bisa mematok bahwa semua warga di Waduk Pluit merupakan warga kaya raya.

"Kalau yang punya kontrakan, kan enggak semua. Lagi pula mereka tinggal di sana sudah hampir 20 tahun. Jadi wajar kalau mereka pindah kemudian mengontrakannya," ujar Siane.

Ia mengatakan, untuk mencegah adanya permainan nakal dari warga, pemerintah sebenarnya bisa memanfaatkan data KTP atau KK dari kecamatan dan kelurahan setempat. Jika terdapat warga yang datanya tidak sesuai tempat tinggal, maka sah saja jika mereka tidak mendapatkan tempat tinggal pengganti setelah rumahnya digusur.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com