Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Preseden Perjanjian Taiwan-Jepang

Kompas.com - 08/05/2013, 02:29 WIB

Oleh RENÉ L PATTIRADJAWANE

Kunjungan Menteri Luar Negeri China Wang Yi ke beberapa negara ASEAN pekan lalu mencerminkan bergesernya perspektif China terkait klaim tumpang tindih yang menyebabkan perubahan lanskap geopolitik di wilayah Laut China Timur sampai Laut China Selatan. Penegasan Wang bahwa pengejawantahan utuh Deklarasi Tata Berperilaku (DOC) adalah aspirasi politik bersama (Kompas, 6/5) menjadi tanda perubahan tersebut.

Ini juga tecermin jelas dalam sikap China yang hanya mengajukan protes dan pernyataan keras atas perjanjian penting Taiwan-Jepang terkait perlindungan hak penangkapan ikan di wilayah sengketa di sekitar Kepulauan Senkaku/Diaoyu di Laut China Timur, 10 April lalu.

Di sisi lain, kita khawatir atas pernyataan Wang setelah bertemu Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Kamis (2/5). Pada waktu itu, Wang menyebutkan, investasi langsung China di luar negeri dalam kurun lima tahun mendatang akan mencapai nilai lima triliun dollar AS dan berharap Indonesia menampung jatah lebih banyak investasi China ini.

Ada dua hal yang ingin kita letakkan dalam perspektif kebijakan politik China ini. Pertama, campuran kebijakan investasi dan politik luar negeri, yang selama ini dilakukan RRC di kawasan Afrika dan Amerika Latin, akan menjadi agenda baru bagi ASEAN.

Hal ini dilakukan dalam rangka perebutan lingkup pengaruh di kawasan Asia yang dinamis perekonomiannya, tetapi masih diwarnai klaim tumpang tindih di Kepulauan Paracel dan Spratly.

Kedua, sikap China atas perjanjian kerja sama penangkapan ikan Jepang-Taiwan di wilayah Senkaku (China menyebutnya Diaoyu) terkesan seperti wait and see, tidak memprovokasi persoalan lebih dalam. China bersikap sangat hati-hati agar titik api krisis di wilayah Asia Timur, yakni ketegangan di Semenanjung Korea, tidak berubah menjadi kesalahan fatal menuju konflik terbuka berbagai kekuatan.

Lemahnya pertumbuhan ekonomi di Jepang setelah kampanye Abenomics serta rentannya perekonomian Taiwan ataupun Korea Selatan (Korsel) akibat krisis global seperti menahan perilaku agresif RRC selama 3-4 tahun terakhir ini. Masalah krisis ekonomi bercampur proyeksi kebijakan luar negeri menjadikan China menahan diri menguraikan strategi kepentingannya, termasuk dalam persoalan Taiwan.

Ada beberapa faktor terkait perkembangan China ini. Faktor terpenting, upaya menahan diri, yang tak hanya terlihat dalam perjanjian perikanan Taiwan-Jepang, tetapi juga dalam sengketa wilayah di perbatasan China-India.

Faktor lain adalah terbukanya peluang terciptanya kode tata berperilaku antarpihak yang bersengketa di kawasan klaim tumpang tindih kedaulatan melalui isolasi wilayah kedaulatan dengan batas 12 mil laut dari pantai terluar dan zona ekonomi eksklusif (ZEE) dengan batas 200 mil laut, seperti yang dilakukan Taiwan dan Jepang.

Perjanjian Taiwan-Jepang menjadi fondasi penting untuk menjadi preseden dalam mencari solusi tumpang tindih kedaulatan secara bertahap.

Faktor-faktor di atas sebenarnya menjadi prasyarat dalam ”Teori Donat” gagasan pakar hukum laut, Dr Hasjim Djalal, yang membiarkan sebuah ”lubang” di inti kawasan maritim yang disengketakan, dan menjadikan wilayah laut luas di sekitarnya untuk kepentingan bersama.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com