Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemilu Malaysia dan Ujian Reformasi Najib

Kompas.com - 07/05/2013, 03:11 WIB

Di samping ketiga isu itu, pemilu tahun ini juga diwarnai isu moralitas kandidat, terutama menyangkut pemimpin tertinggi kedua koalisi, Najib (BN) dan Anwar (PR). Isu moral pemimpin sesungguhnya isu lama. Hadirnya isu moral–yang membawa ke tingkat publik dugaan cacat moral kedua pemimpin politik tertinggi Malaysia–muncul setidaknya tiga tahun terakhir. Dalam sistem demokrasi parlementer seperti di Malaysia, kedua pemimpin partai/koalisi partai harus bertarung memperebutkan kursi di parlemen untuk selanjutnya mendapatkan jabatan PM lewat pemilihan di parlemen dengan partai atau koalisi partai pemenang pemilu, sekaligus memenangkan jabatan PM.

Untuk menilai kekuatan politik di Malaysia saat ini, acuan yang dapat digunakan tentu hasil pemilu terakhir, Pemilu 8 Maret 2008 atau PRU Ke-12. Koalisi BN mempertahankan mayoritas di DR, paling tipis dalam sejarah BN, yakni 140 kursi pada Pemilu 2008. Sumbangan terbesar bagi kursi BN didapat dari UMNO. Adapun BN mengalami penurunan kontribusi kursi dari dua mitra utama koalisi, Malaysian Chinese Association dan Malaysian Indian Congress. Sebaliknya, koalisi oposisi PR meraih 82 kursi DR dengan alokasi PKR 31 kursi, Partai Islam Se-Malaysia 23 kursi, dan Partai Aksi Demokratik 28 kursi.

Selain tambahan kursi hampir empat kali dibandingkan Pemilu 2004 yang hanya 20 kursi, koalisi oposisi PR juga menang di lima negara bagian (Kelantan, Perak, Kedah, Selangor, dan Pulau Pinang). Ini prestasi terbaik oposisi dalam penguasaan negara bagian, sekaligus prestasi terburuk BN, meski PR akhirnya kehilangan Negeri Perak akibat tiga DUN PR menyatakan diri independen. Perkembangan paling fenomenal pasca-Pemilu 2008 adalah kemenangan Anwar pada pemilu sela di dapil Permatang Pauh pada 26 Agustus 2008. Setelah membawa oposisi membuat debut politik penting dalam Pemilu 8 Maret 2008, Anwar kembali ke parlemen dan kemudian memimpin oposisi di parlemen.

Dengan kemenangan ini, oposisi berkesempatan mewujudkan proyek Malaysia yang demokratis dan berkeadilan sosial (sesuai manifesto utamanya) di negara bagian yang dikuasai. Keberhasilan proyek showcase ini, tak bisa dimungkiri, memberikan dampak politik besar, terutama pada pengalihan dukungan ke oposisi dari pemilih di negara bagian yang dikuasai BN. Kehilangan lima negara bagian ini (atau bisa dibaca empat) harus dicatat sebagai kekalahan BN meski masih menguasai kursi di DR dan kursi PM di tingkat federal.

Baru vs transformasi

Pemilu 5 Mei berlangsung dalam setting pematangan politik baru (new politics) dan liberalisasi politik, kecenderungan politik yang telah berjalan di Malaysia dua dekade terakhir. Terminologi politik baru merujuk lahirnya orientasi politik di kalangan warga dan pemilih yang sebelumnya bertumpu pada etnisitas dan pembangunan ekonomi berbasis etnis menuju nilai-nilai politik baru, yakni kebebasan individu, demokrasi, pluralisme, dan penghargaan pada HAM. Ini juga pemilu pertama dalam liberalisasi politik di bawah Najib—ditandai antara lain penghapusan sensor atas media, pencabutan UU Keamanan Dalam Negeri, dan reformasi sistem pemilu sepanjang tahun 2011.

Politik baru ini lahir bersamaan dengan GRM. Meski demikian, politik baru ini bukan lahir karena GRM, tetapi akarnya sebetulnya terletak pada perluasan kelas menengah berpendidikan tinggi sebagai buah dari kemakmuran ekonomi. Dengan kata lain, politik baru lahir berkat keberhasilan pembangunan ekonomi dan modernisasi. GRM hanya pemicu atau ekspresi politik baru. Faktor lain penyumbang kelahiran politik baru adalah globalisasi dan persentuhan kelas menengah yang besar dengan nilai-nilai yang diadvokasikan oleh individu dan organisasi internasional sejalan dengan demokratisasi global. Kemakmuran ekonomi dan kelahiran politik baru ini memberikan darah baru bagi revitalisasi demokrasi yang mencakup kebebasan individu, penghargaan HAM, dan tuntutan akan pemerintahan bersih.

Kelahiran dan pematangan politik baru bukan tidak diantisipasi Najib dan BN. Program transformasi Najib digagas untuk merespons tantangan yang dihadapi UMNO dan BN. Program transformasi terdiri dari empat agenda kebijakan yang memberikan implikasi transformatif pada kondisi sosial-ekonomi dan politik. Dengan keempat agenda—konsep Satu Malaysia, Model Ekonomi Baru (MEB), Program Transformasi Pemerintahan, dan Program Transformasi Politik—ini, Najib sesungguhnya menghadirkan sistem politik demokrasi di Malaysia yang lebih maju dan liberal dibandingkan dengan satu dekade lalu.

Najib memang mewarisi Malaysia dengan lanskap politik yang baru sehingga ia harus juga menampilkan pemerintahan BN yang baru seperti tata kelola pemerintahan baik, bersih, melayani, adil, dan adaptif terhadap perubahan. Najib melangkah lebih maju dengan program tranformasi seperti disebutkan sebelumnya. Inti dari keseluruhan program tranformasi atau reformasi ini sesungguhnya secara politis adalah menjaga pemerintahan BN tetap relevan dalam politik Malaysia. Sungguh, sebuah transformasi sosial-politik-ekonomi yang tidak mudah. Apakah transformasi ini dianggap memadai dan berhasil oleh pemilih?

Endi Haryono Mengajar pada Program Pascasarjana Ilmu Politik UGM

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com