Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Papua, Sebuah Noktah Sejarah

Kompas.com - 06/05/2013, 02:14 WIB

Cara-cara selama ini, mengatasi konflik dengan menggelar operasi militer di Tanah Papua, harus dihapus. Akibat operasi militer, banyak rakyat Papua menderita ataupun dibunuh, termasuk meninggalnya Pemimpin Dewan Adat Papua Thijs Hiyo Eluai, 11 November 2001.

Betul bahwa banyak ahli meyakini kedaulatan dan kepentingan negara sebagai harga mati. Namun, tidak kurang pula ahli yang mengingatkan bahwa ada nilai-nilai universal yang seharusnya dipatuhi, seperti pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Kedaulatan negara tidak absolut karena negara wajib melindungi dan menghormati hak asasi rakyatnya. Dengan demikian, intervensi kemanusiaan bisa dibenarkan karena bertujuan menjaga nilai-nilai universal kemanusiaan.

Indonesia juga pernah mengirim pasukan perdamaian (Kontingen Garuda) ke beberapa negara dalam rangka intervensi kemanusiaan seperti di Kosovo-Bosnia (1992-1995).

Konflik Papua yang berkepanjangan, termasuk tudingan adanya penghapusan etnis di Papua, telah memunculkan seruan perlunya kehadiran pihak-pihak luar meski sampai sekarang tidak satu pun yang diizinkan masuk. Dari sisi kedaulatan negara, tindakan ini sudah tepat. Masuknya pihak asing berarti campur tangan terhadap isu internal. Namun, penolakan ini tidak bisa berlama-lama tanpa perbaikan penanganan HAM di Papua.

Els Bogaerts dan Remco Raben (2007) menyatakan bahwa akar kekerasan yang ada di Indonesia setelah 1945, adalah warisan kolonial Belanda untuk menghancurkan orang Indonesia. Posisi Papua dalam konteks pernyataan di atas adalah bahwa setelah Perjanjian New York (1962) dan penyatuan kembali pada 1 Mei 1963, warisan kekerasan itu menjadi pola aparat keamanan Indonesia.

Kita tidak sadar bahwa pola kekerasan kolonial itu telah menjadi budaya dalam sistem kita, kita gunakan atas nama kedaulatan negara, mengabaikan HAM, dan akhirnya menghancurkan rakyat Papua.

Warisan kolonial

Orang Papua sering menggugat, ”Katanya kita bersaudara dan merdeka dari penjajahan, tetapi apa bedanya Indonesia dengan Belanda jika cara-cara kekerasan yang sama dipakai untuk menghancurkan bangsa sendiri.”

Hal itu sungguh ironis dan sangat menyedihkan hati penulis sebagai putra Indonesia, dengan orangtua dan kerabat yang ikut berjuang mengibarkan Sang Merah Putih di Tanah Papua.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com