Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-pohon?

Kompas.com - 30/04/2013, 02:06 WIB

Cerpen Eko Triono

Sebelum kau bertanya, ”Agama apa yang pantas bagi pohon-pohon?” hujan lebih dahulu berwarna tembaga.

Merkuri yang tinggi, tegak dan melengkung; berbaris menundukkan kepala di sisi jalan provinsi J, dan kita mengira mereka sedang sibuk, atau mungkin berkabung, pada lalu lintas yang senantiasa bergegas, seperti saat, seperti waktu (yang kerap terlepas dan bersambung). Penerangan dalam bus dimatikan, sejak beberapa jam yang lalu.

Penumpang yang lain sepenuhnya mengantuk; nyaris terlelap, punah dari jaga seolah mereka akan tinggal di bus ini untuk selama-lamanya. Lelehan hujan yang mengalir pada jendela kaca jatuh lebih nyata dari yang semestinya. Dan, entah mengapa, tiba-tiba kita saling bertanya: benarkah di suatu kota, hujan dan gerimis dapat berubah menjadi logam? Dan hari akan bercadar, dan, kita benar akan sampai?*

Kau senyum tipis: jadi logam mulia, atau, logam hina?

Aku mengangkat bahu.

Itu bukan soal.

Kita saling meletakkan pandangan di dalam perasaan masing-masing.

Dan di luar, cuaca saat ini adalah kabut dalam lanskap gelap rawa-rawa pantai. Ada pula nuansa kota-kota yang kita lintasi; lapak-lapak tenda dengan lampu neon 15 watt, tempat isi ulang pulsa, ATM, penjual buah, rumah-rumah dengan beranda, restoran, apotek 24 jam, gambar-gambar kangen di bak truk, pasangan yang saling berbonceng dengan lambat, dan itu, sepotong bulan biskuit yang selalu terlambat 4 menit; bergelantung pada kemiringan 300 di arah Timur.

Dan kau mulai bercerita soal bulan. (Cerita yang tidak kusukai karena alasan pribadi).

Bahwasanya, pada suatu malam yang ceria, hari Sabtu, kalian pernah duduk-duduk di halaman rumah kontrakan. Zafin, putra kecil kalian, begitu menggemaskan. (Aku membayangkan bentuk muka, pakaian, dan gaya sisiran rambutnya). Dan, katamu kemudian, sepotong bulan biskuit, muncul dari semak-semak nyiur, dari arah sungai yang tersembunyi arusnya.

Zafin terpesona melihatnya. Ia kemudian bilang:

"Mama, mengapa malam-malam begini ada matahari?"

"Itu bukan matahari, sayang," katamu (disertai senyum ingatan geli), "itu bulan."

Dan kamu tahu? Zafin memandang penuh takjub, tak henti-henti, hingga seluruh sinar bulan itu menggenang di air mukanya. Dan tak kusangka memang, ternyata, ia baru pertama kali lihat yang namanya bulan. Ia pun bertanya lagi, ’Itu bulan siapa, Ma?’ Kami sempat bingung. Kujawab saja, itu bulan kepunyaan Tuhan, sayang. Dan ia malah lanjut bertanya, ’Tuhan? Siapa dia? Kakek-kakek nelayan ya? Mengapa dia menaruh bulannya di sana? Rumahnya di seberang sungai ya, Ma? Kita main ke sana yuk! Kita pinjam bulannya, buat dipasang di kamar Zafin.’ Kami terdiam. Antara lucu dan tak mengerti isi pikiran Zafin. Untung ada penjual molen lewat. Zafin suka molen pisang. Dan pertanyaan tadi, ia abaikan dalam seketika.

Aku minta ijin padamu untuk merasa gembira, tepuk tangan, dan berkata, bahwa barangkali, putramu itu akan menjadi seorang filsuf, atau, penyair.

(Meski sebenarnya aku muak dengan kebahagiaan kalian, dan, benci mengatakan pujian palsu).

Kusebut-sebut perihal mukjizat yang seringkali terabaikan, teralihkan oleh dorongan menjadi ideal yang lain. Kau menanggapi dengan baik. Malahan, kau menyinggung-nyinggung tentang seorang penyair, yang karena patah hati, lalu memilih jadi relawan di daerah konflik. Dia berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Di sana, kata dia, hujan malah berubah jadi peluru. Tajam dan seringkali berdarah. Kelaparan, pengungsi, kemah-kemah penuh penyakit, mi instan, dan seterusnya.

Dia masih muda, tapi sayang, cinta yang gagal membuatnya lebih menderita 10 tahun dari usia kebahagiaan yang seharusnya dia miliki. Hari-harinya adalah menulis laporan pembantaian, tinggal di antara orang-orang yang tak lagi paham apa arti merdeka dan tanah air, menghibur seorang ibu yang anaknya ditembus peluru, bernyanyi bagi anak-anak yang kehilangan ayahnya, meneplok nyamuk yang begitu banyak di malam gelap musim hujan, dan seterusnya.

Aku buru-buru menambahkan, ”Dan dia selalu merindukan cintanya yang hilang, menulis sajak yang dirahasiakan, dan, menyusun surat cinta yang tak pernah dikirimkan.”

Kau senyum meledek:

”Lalu dia mencoba pulang, entah untuk alasan apa.”

(Kau ini, memang paling bisa).

Dia pulang untuk sesuatu yang masih dirahasiakan, kataku.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com