Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-pohon?

Kompas.com - 30/04/2013, 02:06 WIB

Kemudian, dia bertemu dengan cintanya yang membuat menderita itu, yang telah memiliki anak dan rajin bercerita tentang anaknya. Mulai dari ketika dia belajar memanggil ayahnya dengan cadel, sampai soal menyebut bulan sebagai matahari yang datang di malam hari, dan, ingin memindahkannya ke kamar—tentu dengan kemiringan yang sama, 300 dari arah Timur. Mereka berusaha bercakap-cakap seolah tak pernah ada apa-apa; tak pernah mengenali satu sama lain, tak pernah menyentuh satu sama lain.

”Apa pertemuan itu suatu kebetulan?”

Salah satu pertanyaan darinya.

”Kebetulan? Apa itu kebetulan?” Kata si penyair. ”Angka dalam lotre murahan yang dijagai lelaki tua di tepi jalan, atau, saat tiba-tiba kita ada dan tiba-tiba tiada?”

”Sayang sekali, sudah tak ada lagi tempat bagimu untuk menyimpan puisi-puisi. Dunia sudah sesak, sudah penuh.”

”Dan sudah menyakitkan bagi perempuan yang baru dicerai; dihapus dari kalimat cinta fiktif.”

Kita diam.

Dendam silih dalam jam digital berwarna merah saga di dekat kondektur yang saling sulih dengan dingin.

Aku menyandarkan punggung, lelah.

Dan kita memang sudah lama tak menyenangkan lagi. Cahaya-cahaya saling berpapas dan melewati. Jalanan berlorong. Berlabirin. Kita seperti melaju dalam pori-pori terumbu karang. Lagu-lagu lambat diayunkan membuat penumpang lain makin lelap. Kita hanya mampu menahan tawa, saat lirik dari Queen seperti sengaja dilemparkan oleh kondektur pada kita: ”Too much love, will kill you.....” Kita, pada hari yang telah jadi silam, sebenarnya pernah seperti saat ini. Bedanya, ketika itu kau bersandar di bahuku, dan, kadang kau diam-diam mencuri waktu untuk mencium pipiku dan mengatakan:

”Senyummu terlalu manis untuk seorang pemikir yang berlagak serius,” (matamu menggoda).

Dan kita mengisi perjalanan dengan menerka apa-apa yang terjadi di antara rumah pada tepian jalan yang kita lintasi.

”Kamu tahu, anak itu bilang pada ayahnya: Ayah mengapa gula-gula kapas berwarna merah muda?”

Ayahnya bilang, katamu selanjutnya, ”Itu karena pedagangnya ingin punya anak perempuan yang cantik, yang punya leher indah.”

”Bukan begitu,” aku merasa tidak setuju, ”anak itu justru berkata: Ayah, jangan biarkan aku menjadi dewasa. Kemudian dilahapnya gula-gula kapas itu sambil berdoa agar ia tak lekas menjadi besar. Lihatlah....”

Kau tertawa, mana ada anak kecil secerdas itu. Anggap saja dia pernah mendengar cerita betapa menyakitkannya menjadi dewasa; terbatas dari kebebasan melakukan apapun, menanyakan apapun.

Kau menatapku, benarkah kita telah menjadi dewasa? Aku mengangguk. Kita berpelukan. Ada jeda dari musim yang tak mampu kita tahan. Dan kita berganti dari memperhatikan seorang anak dalam gendongan pundak ayahnya, yang sambil menikmati gula-gula kapas merah muda itu, ke seorang nenek keriput yang menjemur padi, dan bukit-bukit.

”Menurutmu, apa yang dikatakan bukit-bukit itu kepada kita?”

Kali itu, giliran aku yang menggodamu, ”Beri aku sebuah tanda, kata sang bukit. Beri aku.... sebuah tahi lalat. Sebuah, atau lebih.”

Kau mencubitku, geli.

Kita saling melirik.

”Kalau pohon-pohon itu?”

”Menurutmu?”

”Mmm, apa ya, mungkin, mereka bilang, kalian bisa pergi-pergi, sementara kami, sejak lahir sampai mati berada di sini.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com