Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pencari Suaka, Dilema bagi Australia

Kompas.com - 21/04/2013, 04:33 WIB

”Bebaskan kami”, demikian bunyi salah satu spanduk yang terpampang di penampungan pencari suaka di bilangan Broadmeadows, Melbourne, Australia.

Sebanyak 28 pencari suaka melakukan mogok makan sejak Senin (8/4). Mereka terdiri dari 25 orang Tamil, dua warga etnik Rohingya dari Myanmar, dan seorang Iran.

”Bila Pemerintah Australia tidak membebaskan kami, lebih baik kami dibunuh saja,” demikian isi surat mereka, seperti dikutip surat kabar Canberra Times.

Spanduk-spanduk lain berbunyi ”Kematian lebih baik daripada hidup tanpa daya dan harapan” dan ”Kami butuh perlindungan, empat tahun sudah lebih dari cukup”.

Sebagian besar pencari suaka itu telah ditahan di tempat penampungan itu selama 2-3 tahun sambil menunggu hasil penyelidikan dari badan intelijen Australia, ASIO.

Mereka termasuk di antara 56 pencari suaka yang ditahan di Australia karena dianggap berbahaya bagi keamanan Australia.

Namun, kebanyakan dari mereka belum tahu mengapa kelayakan mereka untuk masuk ke dalam masyarakat setempat harus dipertimbangkan.

Gunung es

Aksi mogok makan itu hanya puncak dari gunung es permasalahan pencari suaka di Australia.

Mereka hanya sebagian kecil dari sekitar 5.000 pencari suaka yang ditahan di Australia. Sebanyak 650 pencari suaka lainnya juga ditahan pusat pemrosesan di Pulau Nauru dan Manus di Pasifik Selatan.

Di pantai barat Australia, tepatnya di kota Geraldton, sebanyak 66 pencari suaka mendarat pada Selasa (9/4) tanpa terdeteksi. Otoritas penjaga pantai mengatakan, mereka setidaknya telah enam minggu berada di laut, berlayar sejauh 8.000 kilometer dari Sri Lanka.

Insiden itu langsung jadi makanan empuk pihak oposisi di Australia, yang mengatakan kedatangan kapal mereka akan mendorong pencari suaka lain berdatangan ke Australia.

Pemimpin oposisi, Tony Abbot, melukiskan kejadian ini sebagai ”bencana” dalam pengawasan pantai. ”Saya pikir, secara efektif, bisa dikatakan pemerintah sudah menyerah (dalam hal ini),” katanya kepada sebuah radio di Melbourne.

Australia mempunyai garis pantai sepanjang 60.000 kilometer, sekitar setengahnya bisa dikatakan terbuka bagi para pencari suaka.

Belum jelas bagaimana kapal ini bisa menyelonong masuk perairan Australia, satu kapal dengan 85 penumpang yang diduga pencari suaka dari Afganistan dan Pakistan tenggelam di selatan Selat Sunda di perairan Indonesia, Jumat (12/4).

Persoalan abadi terkait pencari suaka ini adalah mencari perimbangan yang tepat antara memberi perlakuan manusiawi terhadap pencari suaka dan tak memberi lampu hijau bagi aktivitas penyelundupan manusia.

Australia adalah penandatangan Konvensi PBB untuk Pengungsi (UN Convention on Refugees) yang membenarkan orang pergi ke negara lain tanpa dokumen dan untuk melamar menjadi pengungsi.

Adalah pemerintahan PM Paul Keating yang pada 1992 pertama kali memelopori menahan pencari suaka di Australia untuk alasan keamanan, pemeriksaan kesehatan, dan kelayakan untuk menjadi warga negara.

Pemerintahan-pemerintahan berikutnya mempertahankan kebijakan ini, bahkan masa penahanan menjadi lebih lama.

Tindakan ekstrem pengusiran kapal, seperti yang pernah dilakukan oleh pemerintahan PM John Howard pada Agustus 2001 terhadap kapal pengangkut pencari suaka dari Afganistan, memang langsung meredupkan jumlah pencari suaka.

Namun, pemerintah Gillard mencoba untuk tidak mengusir mereka dengan menempatkannya di Australia, Pulau Nauru, dan Manus. Akibatnya, lebih dari 15.000 pencari suaka tetap datang ke Australia sejak Agustus tahun lalu.

Padahal, pemerintahan Gillard telah menetapkan peraturan baru yang bertujuan menghentikan pemrosesan pencari suaka bagi mereka yang sudah berada di Australia.

Peraturan ini akan disahkan oleh parlemen menjadi undang- undang, Mei mendatang. Hal ini belum banyak disadari para pencari suaka, termasuk yang sudah berada di Australia sekalipun.

Harry Bhaskara Koresponden Kompas di Brisbane, Australia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com