Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menggelar rapat koordinasi stabilisasi harga pangan di Jakarta, Rabu (17/4). Dalam rapat itu hadir antara lain Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, Menteri Pertanian Suswono, Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar, Kepala Badan Pusat Statistik Suryamin, dan Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso.
Dalam keterangan pers seusai rapat, Hatta menyatakan, harga daging sapi masih tinggi, lebih kurang Rp 91.000 per kilogram. Rapat koordinasi memutuskan untuk menurunkannya paling tidak ke Rp 76.000 per kilogram. ”Ini harga yang harus dikejar. Untuk itu, sejumlah keputusan sudah diambil,” kata Hatta.
Keputusannya adalah percepatan realisasi impor dan penyederhanaan mekanisme impor. Usaha mempercepat distribusi dari sentra produksi sapi lokal ke daerah konsumsi sebagaimana pernah dijanjikan pada rapat koordinasi Februari lalu sama sekali tidak disinggung.
Percepatan realisasi impor akan dilakukan dengan cara mendorong importir yang telah mendapatkan kuota untuk mempercepat realisasinya. Importir yang lalai akan mendapatkan sanksi keras. Namun, Hatta tidak menjelaskan lebih lanjut tentang bentuk sanksi yang dimaksud.
Penyederhanaan impor dilakukan dengan cara mewujudkan sistem satu atap. Selama ini, tata niaga impor daging sapi diatur oleh Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Dalam waktu dekat, kewenangan di dua lembaga itu akan disatukan mulai dari perizinan, pelaksanaan, sampai pengawasan.
Gita Wirjawan menyatakan, sistem satu atap akan mulai berlaku pada 1-2 bulan ini. Adalah Kementerian Perdagangan selaku pemimpin dalam sistem tersebut.
Artinya, kata Gita, importir cukup datang ke satu tempat untuk mendapatkan sejumlah perizinan, seperti surat persetujuan impor dan rekomendasi impor. Selama ini, pengurusan berada di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian. Nanti dokumennya hanya ada satu.
Suswono menyatakan, persoalan kurangnya pasokan acap kali berkaitan dengan distribusi. Sejauh ini belum ada solusi untuk inefisiensi transportasi dari sentra produksi dalam negeri ke daerah konsumsi. Akibatnya, acapkali stok domestik yang ada tak dapat didistribusikan.