Krisis di Semenanjung Korea hingga kini masih menjadi ancaman utama bagi stabilitas dan keamanan kawasan, antarkawasan, dan juga global. Pyongyang berkali-kali mengancam akan menyerang Korsel dan sekutu utamanya, Amerika Serikat, dengan senjata nuklir yang mereka klaim siap digunakan.
Pertengahan pekan lalu, AS dan Korsel sama-sama meningkatkan status militer menanggapi ancaman serangan Korut tersebut. Militer AS, seperti dikutip situs web independen, DEBKAfile, dalam laporan khususnya 12 April lalu, menyebut status itu dinaikkan menjadi DEFCON 3 atau Kondisi Kuning.
Hal itu berarti, walau dianggap belum mencapai status ada ancaman serangan nuklir yang terjadi terhadap AS, situasi dianggap masih sangat cair dan dapat berubah dengan sangat cepat.
Status DEFCON 3 kali ini tercatat sebagai yang keempat kalinya ditetapkan AS sepanjang sejarah. Status sama pernah diterapkan saat negara itu menghadapi krisis di Teluk Babi, Kuba, tahun 1962, Perang Yom Kippur di Timur Tengah (1973), dan Serangan 11 September (2001).
Sejumlah pejabat Korsel dan AS meyakini Pyongyang akan mengujicobakan peluru kendali jarak menengahnya dalam waktu dekat. Peluru kendali itu disebut- sebut mampu menjangkau pangkalan militer AS di Guam.
Dari Tokyo, Jepang, Menteri Luar Negeri AS John Kerry dan mitranya dari Jepang, Fumio Kishida, mengajukan tawaran damai terbaru untuk menurunkan ketegangan.
Dalam jumpa pers bersama, Kishida secara eksplisit meminta Korut menghormati kesepakatan sebelumnya terkait program nuklir dan rudal mereka. Termasuk di dalamnya kesediaan memulangkan warga asing yang telah mereka culik.
AS dan Jepang sepakat tentang pentingnya melanjutkan kerja sama mewujudkan Korut yang bebas nuklir sekaligus membuka kembali perundingan langsung.