Para menteri luar negeri (menlu) negara-negara industri maju G-8, sejak Rabu lalu hingga Kamis (11/4), berkumpul di London, Inggris, untuk membahas beberapa isu penting dunia. Dua agenda paling krusial adalah krisis Semenanjung Korea dan perang saudara di Suriah.
Kelompok G-8 sangat berkepentingan pada stabilitas kawasan Asia yang merupakan pasar utama perdagangan mereka. Stabilitas ini guncang dalam tiga pekan terakhir setelah Korea Utara (Korut) mengumbar ancaman kepada Korea Selatan (Korsel), Amerika Serikat (AS), dan Jepang.
Merespons ancaman Pyongyang, Jepang menempatkan sistem persenjataan anti-rudalnya di beberapa pusat kota Tokyo. Pemerintah Jepang kemudian memberikan perintah kepada militer untuk menghancurkan setiap rudal Korut yang melintas di wilayah udara mereka.
Tensi di Semenanjung Korea semakin memuncak mendekati 15 April, yang merupakan hari ulang tahun sang Pemimpin Besar Kim Il Sung. Kekhawatiran terbesar adalah hari tersebut akan dipakai sebagai momentum Korut untuk meluncurkan rudalnya dengan kemungkinan
Di London, Jepang menuntut negara-negara G-8 mengeluarkan pernyataan keras terhadap Pyongyang. Menlu Jepang Fumio Kishida dan Menlu AS John Kerry, Rabu sore, langsung mendiskusikan kemungkinan sanksi ekonomi untuk menekan pemerintahan Kim Jong Un.
Kerry dan Kishida juga membahas peran China dan bagaimana ”mengubah dinamika” Pyongyang.
Kerry bersama pemimpin NATO, Anders Fogh Rasmussen, juga akan terbang ke Seoul, Jumat ini, dalam rangka mengantisipasi ancaman Pyongyang.
”Korut, dengan retorikanya yang terus-menerus, benar-benar telah mendekati garis bahaya,” ujar Menteri Pertahanan AS Chuck Hagel, Rabu lalu.
Laporan intelijen Korsel menyebutkan, Korut telah mempersiapkan dua rudal jarak menengah di pantai timur, yang siap ditembakkan kapan pun. Korut mengabaikan peringatan China, yang merupakan sekutu terdekatnya, untuk meredakan ketegangan di Semenanjung Korea.
Sementara itu di Bandar Seri Begawan, Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) sepakat menjadikan forum pertemuan kawasan (ARF) yang digagasnya sebagai ajang untuk menciptakan komunikasi di antara kedua Korea.
Wartawan Kompas,
”Kerap kali dalam kondisi krisis, pihak-pihak yang bertikai cenderung mengunci diri, baik ke dalam maupun ke luar, sehingga lupa untuk mengupayakan membangun komunikasi. Hal itulah yang sekarang coba kami sampaikan sekarang kepada keduanya,” ujar Marty.
Menjelang Juli, tutur Marty, ASEAN akan mencoba menjajaki kedua pihak melalui upaya komunikasi informal. ASEAN juga ingin memastikan ARF tidak akan terjebak menjadi sekadar pertemuan rutin.