Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hutan Luas di Jambi Hanya di Atas Kertas

Kompas.com - 06/04/2013, 03:36 WIB

Satwa-satwa liar di Jambi belakangan ini mungkin gelisah. Karena sering berkonflik dengan manusia, mereka pun ditangkap, lalu diungsikan ke luar daerah. Tak ada tempat lagi buat satwa liar, meskipun di atas kertas Jambi memiliki hutan seluas 2,1 juta hektar.

”Di atas kertas memang luas, tetapi kita sudah lihat sendiri bagaimana kerusakan hutan Jambi,” ujar Tri Siswo, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, Senin (18/3).

Karena konflik tersebut, timnya kerepotan mengejar jejak harimau sumatera (Pantherra tigris sumatrae) selama sebulan terakhir. Tim memasang kandang-kandang perangkap harimau dari Kabupaten Tanjang Tabung Barat hingga Kabupaten Batanghari. Hingga kini harimau belum bisa ditangkap juga.

Strategi akhirnya berubah. Dua snipper dari Taman Safari Bogor turun tangan. Selama bermalam-malam tim mengendus jejak dalam hutan untuk menembak bius si raja hutan.

Penangkapan harimau menjadi fokus terbesar mengingat kuatnya desakan dan kekhawatiran masyarakat. Dokter hewan Wisnu Wardhana yang biasa menangani satwa liar menduga, si harimau tertular penyakit hewan rumahan. Dugaan itu muncul setelah sang dokter mengamati keanehan dalam gerak-gerik harimau: tidak seagresif harimau pada umumnya.

Harimau yang satu ini hanya mencakar korban, tidak sampai memakan isi tubuh. Itu sebabnya pada 12 konflik baru yang tercatat BKSDA, hanya 1 korban manusia tewas dan 4 yang terluka. Korban ternak pun tidak sampai habis dimakan.

Penangkapan wajib dilakukan mengingat penyakit seperti yang dialami si harimau tengah mewabah di Vietnam dan Siberia. Wisnu khawatir penyakit tersebut menular pada satwa-satwa lain di sekitar hutan.

Karantina

Setelah ditangkap, harimau akan dikarantina. Setelah itu petugas BKSDA melepasliarkan harimau ke lokasi lain di luar Jambi. Secara formal hutan di Jambi seluas 2,1 juta hektar. Ternyata kondisinya tidak memadai sebagai habitat baru si harimau. Perambahan, pembalakan, pembukaan hutan untuk tambang dan tanaman industri yang semakin marak telah mempertaruhkan kelangsungan hidup satwa tersebut.

Catatan Kompas, pembukaan hutan untuk berbagai kepentingan itu kini hanya menyisakan 50 persen atau 1,1 juta hektar berupa empat taman nasional serta sejumlah hutan lindung.

Ketua Forum Peduli Harimau Sumatera Dolly Priatna mengatakan, harimau tangkapan akan sulit bertahan hidup jika dilepas ke habitat baru di hutan Jambi. Harimau membutuhkan ruang jelajah yang luas, sementara hutan tersisa sudah dihuni satwa lain. Sumber makanan pun terbatas. Pelepasliaran akan membuat harimau kelaparan. Untuk menghindari konflik dengan satwa lain, harimau akan mencari ruang lain atau keluar hutan. Itu tentu mengulang konflik dengan manusia.

Dalam lima tahun terakhir, satwa-satwa liar tangkapan selalu dilepasliarkan di luar daerah. Masih ingat kasus konflik harimau Salma tahun 2009? Salma yang belum lama melahirkan dan anak-anaknya dicuri warga, ditangkap petugas BKSDA karena telah menewaskan 11 warga. Setelah dikarantina, Salma kemudian dibawa ke pusat konservasi di Lampung.

Bulan lalu, petugas juga menerima dua bayi harimau korban perburuan liar. Keduanya pun dikirim ke pusat konservasi Jatim Park.

Direktur Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia Warsi Jambi Rudi Syaf mengkritik penangkapan dan relokasi satwa liar. Pemerintah dan swasta harus mengatasi konflik yang berulang setiap tahun. Dalam masifnya pembukaan hutan, perlu dipikirkan membangun koridor- koridor satwa agar satwa tidak sampai harus keluar hutan untuk mencari makanan. (Irma Tambunan)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com