Jakarta, Kompas -
”Sekarang ini, dengan izin bupati yang bebas, banyak izin tumpang tindih,” kata Ketua Bidang Produksi Hutan Tanaman Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Nana Suparna di Jakarta, Jumat (5/4). Nana menyampaikan hal itu pada acara diskusi Forum Wartawan Industri bertema ”Kebangkitan Industri Nasional Versus Kampanye Negatif Asing”.
Menurut Nana, permasalahan lain yang dihadapi hutan tanaman industri (HTI) adalah klaim lahan oleh masyarakat.
Ia menyesalkan sikap pemerintah yang selama ini cenderung diam ketika ada klaim dari masyarakat. Padahal, tanah tempat HTI tersebut milik pemerintah. ”HTI berbeda dengan kebun. Kami hanya memanfaatkan kayu di atasnya, sementara tanahnya punya pemerintah,” kata Nana.
Menurut dia, pemerintah harus mempunyai cara untuk menyelesaikan persoalan tersebut. HTI selama ini juga dinilai merusak hutan alam.
HTI di lahan gambut kerap disorot melepas emisi karbon tinggi dan menurunkan permukaan tanah. ”Kalau pengelolaannya seperti di lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan dulu, ya, jelas tidak boleh. Tetapi sekarang kan sudah ada teknologi ekohidro yang tidak menimbulkan masalah. Tetapi kami terus saja diserang,” ujar Nana.
Terkait tudingan bahwa HTI merebut lahan masyarakat, Nana mempertanyakan mengapa keberadaan sekitar 34 juta hektar lahan tidak dialokasikan saja kepada masyarakat. Pembiaran lahan telantar akan lebih merusak.
Staf Ahli Menteri Perindustrian Bidang Pemasaran dan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri Ferry Yahya mengatakan, ada beberapa hambatan teknis perdagangan yang dihadapi kalangan industri.
Hambatan teknis perdagangan dimaksud antara lain isu lingkungan, seperti perusakan hutan, dan pemanasan global. Cabang industri barang kayu dan hasil hutan lainnya pada tahun 2012 negatif, yakni minus 2,78 persen.
Ferry mengatakan, perlu ada pembenahan untuk mengatasi kendala yang dihadapi industri kehutanan. Langkah ini harus melibatkan semua pemangku kepentingan di dalam negeri.(CAS)