Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa di Balik Konflik Sektarian di Myanmar?

Kompas.com - 05/04/2013, 08:27 WIB

Bulan lalu, lebih dari 40 orang meninggal dalam serangkaian kekerasan antara kelompok Buddha dan Muslim di Myanmar Tengah. Kekerasan yang terjadi di kota Meiktila, Myanmar Tengah, menyebabkan kota itu tampak seperti diguncang bencana alam. Rumah-rumah dan gedung rata dengan tanah dan yang terlihat banyak puing-puing. Tembok-tembok rumah yang masih tersisa sangat terlihat lubang-lubang akibat serangan. Jelas bahwa kerusakan di Meiktila ini akibat kemarahan massa.

Keluarga dan para pemilik toko yang menempati gedung-gedung itu telah angkat kaki. Yang masih tampak adalah para pemulung yang mengais barang-barang yang kemungkinan masih bisa diselamatkan.

Komunitas Muslim di Myanmar yang telah tinggal lama di negara itu terhapus.

Di luar kota, banyak orang yang berhenti dan memperhatikan satu tempat yang hangus. Di tempat itu paling tidak 20 anak laki diambil dari madrasah dan dibunuh. Mayat-mayat mereka disiram bensin dan dibakar.  Tulang belulang mereka yang terbakar masih terlihat di antara abu bangunan.

Sekilas, Meiktila tampak tenang dan teratur. Tentara, yang biasanya tidak terlihat pada era baru Myanmar, kembali ke jalan-jalan. Jam malam diterapkan di daerah itu.

Kekerasan di Meiktila mengejutkan para anggota parlemen daerah. Win Htein -yang mendekam selama 20 tahun di penjara karena kesetiaan kepada pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi dan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi- menyaksikan kekerasan itu.

Ia sebelumnya pernah menyaksikan kekerasan namun menyatakan terguncang atas apa yang ia saksikan bulan lalu. "Saya melihat delapan anak laki dibunuh di depan saya. Saya mencoba menghentikan massa. Saya minta mereka pulang. Namun mereka mengancam saya dan polisi menarik saya," kata Win Htein. "Polisi tidak berbuat apapun, saya tidak tahu mengapa. Mungkin karena mereka tidak berpengalaman, mungkin karena mereka tidak tahu perintah apa yang harus mereka keluarkan," tambahnya.

Sekitar 30 persen penduduk Meiktila adalah Muslim. Mereka menonjol dalam bisnis, dan banyak yang memiliki toko. Saat ini, sebagian besar dari mereka terpaksa tinggal di kamp-kamp dengan penjagaan ketat polisi.

Upaya BBC untuk berbicara dengan para pengungsi ditolak secara halus. BBC dapat menyaksikan bantuan disalurkan dan sejumlah badan internasional datang berkunjung. Namun kondisi di kam ini sangat kotor.

Apa penyebab kebencian?

Kekerasan bermula di toko emas milik seorang Muslim tanggal 20 Maret lalu. Penduduk di sekitar mengatakan kepada BBC bahwa pasangan muda berkunjung untuk menjual perhiasan. Namun terjadi perdebatan soal harga, yang akhirnya menjadi perkelahian.

Kemudian seorang biksu Buddha diserang. Ia meninggal di rumah sakit kota itu. Berita insiden ini menyebar dan menyebabkan serangan massa terhadap semua rumah dan toko milik warga Muslim.

Ada sejumlah versi bagaimana kekerasan ini menyebar. Namun di balik sengketa ini adalah kekhawatiran dan kebencian terhadap Muslim. Ini terlihat dalam hari-hari terakhir ini di seluruh Myanmar.

Salah seorang pemicu kekerasan adalah Ashin Wirathu, biksu di Mandalay yang berusia 45 tahun. Ia dipenjara tahun 2003 karena memicu kekerasan anti-Muslim dan dibebaskan tahun lalu sebagai bagian dari amnesti terhadap tahanan. Ia mengorganisir protes mendukung kelompok Buddha di negara bagian Rakhine, tempat pecahnya sengketa komunal Juni lalu.

Wirathu menerbitkan pidato berisi pesan kebencian."Kami Buddha Myanmar terlalu lunak," katanya. "Kami tidak memiliki jiwa patriotik. Mereka -orang Muslim- bagus dalam sisi bisnis, mereka menguasai transportasi, konstruksi. Kini mereka akan mulai mengambil alih partai politik kami. Bila ini terjadi, kami akan berakhir seperti Afganistan," kata Wirathu.

Ia menuduh pria Muslim berulang kali memperkosa perempuan Buddha dengan menggunakan kekayaan mereka untuk menggoda.

Myanmar memiliki sejarah panjang ketidakpercayaan antara komunitas. Hal ini terpendam dan muncul sekali-kali saat militer berkuasa. Namun konflik ini sekarang terbuka dan menyebar dalam iklim kebebasan baru yang seharusnya membawa Myanmar ke arah negara yang lebih baik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com