Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Andai Indonesia Jadi Pendamai

Kompas.com - 31/03/2013, 04:34 WIB

Pengantar: Dunia sedang menyaksikan tragedi skala masif di Suriah, tetapi lamban mengatasi meski pembunuhan, pembantaian atau eksekusi massal, dan kekerasan mematikan lainnya telah merenggut lebih dari 70.000 orang. Pengungsian, kelaparan, penculikan, dan pemerkosaan menambah panjang penderitaan warga sipil tidak bersalah yang menjadi korban perang saudara yang seakan tak berkesudahan.

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi paling berkuasa di dunia saat ini, tidak berdaya menghentikan kekerasan demi kekerasan di Suriah. Rusia dan China sebagai anggota tetap DK PBB lebih mengamankan rezim Suriah ketimbang memproteksi keselamatan dan perlindungan jutaan warga sipil yang terintimidasi kekuatan senjata. Pascal S Bin Saju

Menghadapi konflik Suriah, DK PBB bak macan ompong. Krisis Suriah dan ketidakberdayaan DK menjadi bagian pokok bahasan diskusi Forum Kajian Kebijakan Luar Negeri Kementerian Luar Negeri RI tentang ”Peran Pemerintah RI dalam Mengupayakan Perdamaian di Suriah”, di Jakarta, Kamis (28/3).

Seminar yang diprakarsai Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kawasan Asia Pasifik dan Afrika (P3K2 Aspasaf) Kemlu itu menampilkan empat pembicara. Mereka adalah Broto Wardoyo (Universitas Indonesia), Bantarto Bandoro (Universitas Pertahanan Indonesia), Febrian A Ruddyard (Kemlu RI), dan Kolonel (Pnb) Irwan Ishak Dunggio, Wakil Komandan Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (Mabes TNI).

Febrian mengatakan, DK sangat lemah dalam menghadapi konflik Suriah. Menurut Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kemlu RI ini, tiga rancangan resolusi terkait Suriah telah gagal disepakati DK, yakni pada Oktober 2011 serta Februari dan Juli 2012. Kegagalan mengadopsi resolusi menyebabkan penutupan Misi Pemantau PBB di Suriah.

Meski Piagam PBB telah menetapkan DK bertugas memelihara keamanan dan perdamaian dunia serta telah dilengkapi wewenang luas baik sanksi nonmiliter maupun penggunaan kekuatan bersenjata, penggunaan hak veto oleh China dan Rusia, sekutu terdekat Damaskus, menjadi salah satu penyebab mandulnya DK merespons cepat krisis kemanusiaan Suriah.

Bentuk, format, kewenangan, dan cara kerja DK sudah ”kedaluwarsa”, hasil warisan arsitektur politik Perang Dunia II. Sementara tanggung jawab internasional yang dihadapi kini sudah sangat modern.

”Konflik Suriah menjadi momen untuk mereformasi DK. Badan ini harus direformasi agar menjadi institusi yang responsif, kredibel, dan representatif,” kata Febrian.

Proses negosiasi terkait reformasi PBB itu kini sedang berjalan. Menurut Febrian, ada beberapa isu utama dalam proses itu. Di antaranya adalah apakah akan tetap 15 negara atau akan ditambah atau dikurangi. Dilihat dari kategori, apakah masih perlu anggota tetap dan anggota tidak tetap ataukah semuanya memiliki privilese yang sama.

Peran Indonesia

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com