Berbagai upaya ditempuh, berbarengan dengan munculnya para ”penumpang gelap” yang memprovokasi bisnis karbon. Namun, seperti proyek Clean Development Management (CDM) sebagai bagian dari mekanisme Protokol Kyoto yang ternyata tidak menghasilkan uang, masyarakat pun mulai ragu.
Tantangan pembangunan berlandaskan ekonomi hijau antara lain untuk menjawab tantangan krisis pemanasan global dan perubahan iklim, krisis energi dan pangan, kerusakan sumber daya alam, serta gagalnya pasar dunia. Indonesia berupaya mengakomodasi ekonomi hijau ini dalam Penyusunan Strategi Nasional (Stranas REDD+) yang begitu ambisius sehingga diperkirakan akan menjadi dokumen belaka.
Tampaknya akan menjadi blunder jika program REDD+ hanya didasarkan pada pemikiran memperoleh kompensasi dana hijau dari negara-negara industri yang mengumbar karbon tanpa memiliki hutan penyerapnya. Lalu apa yang akan diperoleh dari upaya menekan pemanfaatan hutan dan lahan bagi masyarakat di sekitar hutan?
Tak bisa dimungkiri bahwa hutan telah rusak. Tingkat deforestasi yang begitu besar: 1,87 juta hektar/tahun (1990-1996), 3,51 juta hektar (1997-2000), dan turun sekitar 1 juta hektar (2001-sekarang) menunjukkan masalah di bidang kehutanan sangat serius. Badan Planologi Kehutanan (2007) mencatat kawasan hutan yang masih berhutan sekitar 64 persen.
Tata kelola kehutanan, tata cara pengendalian pembalakan liar, kebakaran dan perambahan harus segera diperbaiki. Ditambah kerusakan lahan di luar kawasan hutan yang rata-rata 0,5 juta hektare setiap tahun, maka anggapan hutan sebagai emiter utama karbon dunia semakin beralasan.
Program REDD+ yang mulai terdorong pada COP 2007 di Bali oleh Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) mengharuskan pemerintah melakukan hal-hal yang dapat menggali akar masalah kerusakan hutan dan lahan secara mendalam.
Wujud hasil program REDD+ adalah turunnya tingkat emisi karbon dengan menghindari terjadinya pengurangan hutan akibat kerusakan hutan sekaligus menangani konflik lahan terkait juga hak-hak masyarakat adat dan masyarakat tempatan.