JAKARTA, KOMPAS -
Sejak dua pekan lalu, lebih dari 100 pengikut Kesultanan Sulu, sebagian dari mereka bersenjata, menyeberang ke Lahad Datu, Sabah. Mereka mengklaim tanah leluhur mereka di Sabah sebagai wilayah Kesultanan Sulu di Filipina selatan.
Setelah batas waktu yang diberikan Pemerintah Malaysia habis, terjadi kontak senjata dengan pasukan elite polisi Malaysia. Dua polisi komando dan 12 penyusup tewas dalam insiden itu.
Setelah insiden itu, para penyusup melarikan diri dan terpecah ke tiga wilayah pantai di Sabah, hingga terjadi penyergapan terhadap polisi Malaysia di Semporna.
Polisi Malaysia didukung pasukan militer terus mengejar para penyusup atas perintah Perdana Menteri Najib Razak, yang dibenarkan Kepala Polisi Malaysia Ismail Omar. Namun, Ismail menolak menyebut Sabah dalam kondisi darurat.
Dia juga tak berkomentar terkait klaim pihak Kesultanan Sulu di Manila, yang menyebut berhasil menyandera empat polisi Malaysia. ”Saya tak mau berspekulasi Sabah sedang dalam krisis. Aparat telah kami kerahkan di tiga lokasi untuk merespons keadaan,” ujar Ismail dalam jumpa pers di Lahad Datu.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa menyayangkan kontak senjata yang pecah sejak akhir pekan lalu di Sabah, Malaysia. Namun, Marty mengapresiasi upaya Pemerintah Filipina dan Malaysia untuk berkomunikasi dan mencoba menyelesaikan masalah secara damai.
Di Manila, pemimpin Kesultanan Sulu, Sultan Jamalul Kiram III (74), mengaku khawatir banyak pengikutnya marah atas tewasnya warga mereka di Lahad Datu. Dia dan salah seorang putrinya, Jacel, mencoba menenangkan warga meski menegaskan tak akan pernah mundur dari klaim mereka atas Sabah.
”Masalah itu terkait kehormatan, yang berada di atas segalanya, termasuk nyawa. Kami akan terus memperjuangkan kebenaran dan hak kami,” ujar Kiram.