Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Makin Tak Berdaulat, Krisis Ikan Tambah Parah

Kompas.com - 22/02/2013, 09:32 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengelolaan sumber daya ikan dinilai semakin tidak berdaulat dan memperparah krisis ikan nasional. Legalisasi pengerukan ikan di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia untuk diangkut ke luar negeri tidak diimbangi pengawasan yang memadai.

Demikian dilontarkan sejumlah kalangan, secara terpisah, di Jakarta, Kamis (21/2/2013), menyikapi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Ketentuan menteri itu memberikan keistimewaan kepada kapal pukat cincin berbobot mati 1.000 gros ton (GT) yang beroperasi tunggal untuk menangkap ikan di perairan lebih dari 100 mil, dan melakukan alih muatan (transhipment) ikan untuk diangkut ke luar negeri.

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice Riza Damanik mengemukakan, kebijakan yang sarat kepentingan pemodal asing itu tidak saja ceroboh, tetapi juga memperparah krisis ikan Indonesia. Setiap tahun Indonesia bergantung pada impor ikan dan industri pengolahan kekurangan bahan baku. Ironisnya, pengawasan kapal untuk kegiatan alih muatan ikan di tengah laut masih sangat minim.

Menurut pakar hukum laut internasional, Hasyim Djalal, ketentuan pemerintah itu berpotensi menimbulkan masalah dalam pengawasan, mengingat wilayah penangkapan ikan untuk kapal 1.000 GT itu melebihi 100 mil. Mekanisme pengawasan wajib untuk memastikan hasil ikan yang ditangkap sesuai dengan daya dukung sumber daya, dan pengelolaan ikan berkelanjutan.

”Siapa yang bisa menjamin pengawasan penuh di perairan? Apalagi kapal sebesar itu menangkap ikan untuk dibawa ke luar negeri. Jika pengawasan kurang maka penangkapan ikan dikhawatirkan tidak terkendali,” ujarnya.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, belum pernah ada kapal pukat cincin berbobot 1.000 GT yang beroperasi di ZEE dan laut lepas. Kapal ikan berbobot di atas 30 GT yang terdata hingga 11 Februari 2013 berjumlah 4.142 unit, sejumlah 1.373 unit di antaranya kapal pukat cincin. Kapal pukat cincin terbesar saat ini berukuran 800 GT hanya ada 1 unit.

Tidak konsisten

Riza menilai, keistimewaan bagi kapal 1.000 GT untuk menangkap dan mengangkut ikan ke luar negeri memunculkan indikasi adanya kepentingan untuk menguras sumber daya ikan bagi kepentingan kelompok.

Ketua Harian Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (Apiki) Ady Surya mengemukakan, pemerintah seharusnya konsisten dengan kebijakan industrialisasi perikanan yang telah dicanangkan untuk memperkuat kapasitas usaha perikanan dari hulu-hilir. Faktanya, industri hilir kekurangan bahan baku.

Dicontohkan, usaha pengalengan ikan cakalang membutuhkan bahan baku cakalang rata-rata 350.000 ton per tahun. Namun, produksi ikan cakalang yang seluruhnya dipasok oleh kapal pukat cincin hanya sekitar 300.000 ton per tahun, baik untuk kebutuhan konsumsi dan bahan baku olahan.

”Izin kapal pukat cincin 1.000 GT untuk menangkap di ZEE sepatutnya disertai kewajiban mendaratkan ikan di pelabuhan dalam negeri untuk mengatasi krisis ikan,” ujarnya. (LKT)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com