Sejumlah langkah akan dilakukan Gedung Putih, dari mengupayakan peningkatan tekanan diplomatik hingga menyusun aturan hukum baru yang akan mengurangi ancaman terhadap keamanan dan dunia bisnis negeri itu.
Kepastian itu disampaikan Jaksa Agung Amerika Serikat (AS) Eric Holder, Rabu (20/2) waktu setempat. Holder juga mengungkapkan rencana menggalang kerja sama dengan pemerintah negara lain untuk bersama-sama menekan China dan negara pelaku kejahatan siber lainnya.
Tekanan bisa dilakukan melalui instrumen kebijakan perdagangan dan gugatan hukum. Selain itu, pemerintah juga akan melakukan kajian dalam 120 hari ke depan untuk melihat apakah AS perlu undang-undang baru terkait masalah itu.
”Ketika teknologi baru mampu merobohkan beragam halangan tradisional dalam dunia bisnis internasional serta perdagangan global, pada saat yang sama pula para kriminal memanfaatkan kemudahan yang dihasilkan itu untuk mencuri rahasia dari mana pun di dunia ini,” ujar Holder.
Ia mengatakan itu saat hadir di Gedung Putih dalam sebuah acara pemaparan strategi yang akan dilakukan dalam persoalan itu.
Walau tak menyebut spesifik nama China, banyak kalangan di AS melihat ”Negeri Tirai Bambu” itu sebagai ancaman utama dalam konteks peretasan dan spionase siber.
Pekan lalu, anggota DPR AS dari Partai Demokrat, Dutch Ruppersberger, yang juga anggota Komite Intelijen DPR AS, menyebutkan, sepanjang tahun 2012 saja banyak perusahaan di AS menderita kerugian hingga 300 miliar dolar AS lantaran pencurian rahasia dagang, sebagian besar dilakukan dari China.
Dalam laporan yang dipaparkan pihak Gedung Putih tercatat sebanyak 17 kasus pencurian rahasia dagang dilakukan, baik oleh perusahaan maupun individu di China sejak tahun 2010.
Jumlah itu jauh lebih banyak daripada yang dilakukan oleh perusahaan ataupun individu asal negara lain.